BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, seiring dengan
perkembangan zaman dan tekhnologi, masih saja bermunculan permasalahan yang
cukup rumit. Salah satu permasalahan yang cukup menonjol dan perlunya sorotan
tajam bagi para masyarakat adalah mengenai profesi kependidikan di Indonesia. Pendidikan
di Indonesia sendiripun dihadapkan dengan beberapa permasalahan yang signifikan.
Dalam Term of Reference EADC 2010 dengan Tema “Cerdas Indonesiaku” memaparkan
bahwa rendahnya kualitas guru di Indonesia merupakan rangkaian dari
rantai masalah pendidikan di Indonesia yang harus diberantas hingga ke akarnya.
Hal ini berkaitan dengan peran guru yang merupakan komponen penting dalam dunia
pendidikan yang berada di barisan terdepan. Khalayak masyarakat masih saja
meperdebatkan mengenai ketidakperluannya seorang guru yang memiliki sertifikasi
profesional sebagai guru yang kompeten dan memumpuni dalam profesi
kependidikannya. Padahal jelas adanya, telah disebutkan bahwasanya guru ialah
kalangan profesional kependidikan yang sudah menuntut pendidikan sekolah
tinggi, dan memiliki status sebagai sarjana strata satu dengan keahlian,
pengetahuan, pengalaman mengajar, serta keprofesionalannya memang sudah tidak
diragukan lagi.
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir
sangat memprihatinkan. Banyak guru , khususnya di jenjang sekolah dasar masih
saja memegang seluruh pelajaran dalam satu kelas. Lain pula kasusu, maasih
banyak guru- guru yang berlisensi profesional dengan pemahaman keprofesionalan
pendidikan itu sendiri. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi
kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru
sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan
merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses
belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
Untuk mendapat input guru yang berkualitas
dalam rekruitmen perlu diadakannya sosialisasi di sekolah menengah atas (SMA)
sederajat mengenai persyaratan menjadi guru profesional yang tidak hanya
memiliki ijazah S1, melainkan memiliki keahlian keguruan, tanggung jawab,
pengetahuan serta kemampuan untuk mengajar dan menjadikan guru yang berbobot.
Selain permasalahan di atas yang
cukup rumit, masalah mendasarnya berakar pada ketidak tahuannya para guru/
calon guru mengenai profesi kependidikan itu sendiri, pengertian dasar dalam
sebuah profesi, syarat – syarat suatu pekerjaan yang bisa disebut dengan sebuah
profesi, kode etik keguruan itu sendiri,
serta organisasi profesional keguruan yang diakui eksistensinya oleh pemerintah
dan dunia kependidikan di Indonesia.
Berangkat dari masalah di atas,
penulis mencoba mengangkat permasalahan di atas ke dalam makalah Profesi
Kependidikan, mengenai Konsep Profesi Kependidikan dengan submateri yaitu; (a)
pengertian dan syarat- syarat profesi, (b) Kode Etik Profesi Keguruan, (c) dan
organisasi profesional keguruan sehingga khususnya bagi para penulis dan
masyarakat mampu membuka pikiran bahwa keprofesionalan harus tertanam kuat pada
diri kita karena sudah selayaknya guru mempunyai kompetensi serta tanggung
jawab yang tinggi dalam menjalankan profesinya, sehingga nasib pendidikan di
Indonesia akan berubah kearah yang lebih baik dan bermartabat.
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1
Tujuan
Teoritik
Dengan penulisan makalah ini,
bertujuan melatih penulis untuk mengembangkan konsep profesi kependidikan dan
memahami;
1.
Pengertian dan syarat- syarat profesi,
2.
Kode etik profesi keguruan dan,
3.
Organisasi profesional keguruan.
1.2.2
1.2.2.Tujuan
Empirik
Tujuan ini berhubungan dengan tentang
penambahan wawasan dan pengetahuan
penulis yang berkaitan erat dengan konsep profesi kependidikan dalam mata
kuliah Profesi Pendidikan, sebagai salah
satu dari syarat untuk mengikuti dan memelajari mata kuliah Profesi Pendidikan
semester empat, program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pengetahuan, Universitas Muhammadiyah Metro.
1.3 Sistematika Penulisan Makalah
Dalam rangka pengumpulan data dan
serta informasi tentang materi dalam makalah ini, kami menggunakan sistematika
penulisan sebagai berikut:
13.1
Bab I pendahuluan; menguraikan tentang latar belakang makalah, tujuan makalah
dan sistematika makalah. Latar belakang makalah menmaparkan tentang
masalah-masalah yang berhubungan dengan profesi kependidikan (guru) saat ini di
indonesia dan bagaimana perkembangannya, sedangkan tujuan makalah berisi tujuan
yang ingin dicapai dari pembuatan makalah itu sendiri.
13.2
Bab II pembahasan, dalam pembahasan ini memaparkan teori-teori atau kajian yang
berkaitan dengan konsep profesi kependidikan, pengertian dan syarat-syarat
profesi, kode etik profesi keguruan, dan organisasi professional keguruan yang
mencakup tentang pengertian profesi, pengertian dan syarat-syarat profesi
keguruan, perkembangan profesi keguruan, pengertian kode etik, tujuan kode
etik, penetapan kode etik, sanksi pelaggaran kode etik, kode etik guru
Indonesia, fungsi organisasi professional keguruan dan jenis-jenis organisasi
keguruan.
13.3
Bab III tanggapan dan simpulan, pada pokok bahasan tanggapan menguraikan
tentang tanggapan yang bersifat individual maupuan kelompok, sedangkan simpulan
ditulis dalam berisi satu ikatan dari materi yang di bahas pada bab 2 yaitu
pembahasan.
13.4
Daftar Pustaka
13.5
Lampiran
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP PROFESI KEGURUAN
2.1 Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi
Masyarakat Indonesia banyak
mengatakan bahwasanya profesi adalah pekerjaan yang dilakukan dengan hanya
keahlian profesionalnya. Padahal lebih dari itu, profesional memiliki cakupan
yang cukup luas, seperti dalam kemampuan ( skill) , tanggung jawab, serta
pengelolaan kesejawatan serta perlunya profesionalitas yng berlisensi.
2.1.1 Pengertian Profesi
Profesi adalah pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu
profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi
dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah
pada bidang hukum, kedokteran, pendidikan, keuangan, militer, dan teknik.
Seseorang yang memiliki suatu profesi
tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga
digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari
amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk
pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya
tidak dianggap sebagai suatu profesi.
Pada
umumnya orang memberi arti yang sempit teradap pengertian profesional.
Profesional sering diartikan sebagai suatu keterampilan teknis yang dimilki
seseorang. Misalnya seorang guru dikatakan guru profesional bila guru tersebut
memiliki kualitas megajar yang tinggi. Padahal pengertian profesional tidak
sesempit itu, namun pengertiannya harus dapat dipandang dari tiga dimensi,
yaitu : expert [ahli], responsibility [rasa tanggung jawab] baik tanggung jawab
intelektual maupun moral, dan memiliki rasa kesejawatan.
Pengertian profesi secara leksikal ialah perkataan profesi itu ternyata
mengandung berbagai makna dan pengertian. Pertama profesi itu menunjukkan dan
mengungkapkan suatu kepercayaan (to
profess means to trust), bahkan suatu keyakinan (to belief in) atas suatu kebenaran (ajaran agama) atau
kredibilitas seseorang (Hornby,1962).
Kedua, profesi itu dapat pula menunjukkan dan mengungkapkan suatu pekerjaan
atau urusan tertentu (a particular business, Hornby, 1962 dalam Pengembangan
Profesi Guru, Udin Syafrudin, 2009: 3 ).
Webster’s New World Dictionary
menunjukkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pendidikan
tinggi (kepada pengembannya) dalam liberal arts atau science, dan biasanya
meliputi pekerjaan mental dan bukan pekerjaan manual, seperti mengajar ,
keinsinyuran, mengarang, dan sebagainya; terutama kedokteran, hukum dan
teknologi.
Good’s Dictionary of Education
mengungkapkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang meminta persiapan
specialisasi yang relatif lama di perguruan tinggi (pada
pengembannya) dan diatur oleh suatu kode etika khusus.
Vollmer (1956) dalam Pengembangan
Profesi Guru, Udin Syafrudin, 2009: 5 menjelaskan pendekatan kajian sosiologik,
mempersepsikan bahwa profesi itu sesungguhnya hanyalah merupakan suatu jenis
model atau tipe pekerjaan ideal saja, karena dalam realitasnya bukanlah hal
yang mudah untuk mewujudkannya. Namun demikian, bukanlah merupakan hal yang
mustahil pula untuk mencapainya asalkan ada upaya yang sungguh-sungguh kepada
pencapaiannya. Proses usaha menuju kearah terpenuhinya persyaratn suatu jenis
model pekerjaan ideal itulah yang dimaksudkan dengan profesionalisasi.
Bedasarkan pernyataan Vollmer yang mengimplikasikan bahwa pada dasarnya seluruh
pekerjaan apapun memungkinkan untuk berkembang menuju kepada suatu jenis model
profesi tertentu. Dengan mempergunakan perangkat persyaratannya sebagai acuan,
maka kita dapat menandai sejauh mana suatu pekerjaan itu telah menunjukkan
ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu atau seseorang pengemban pekerjaan tersebut
juga telah memiliki dan menampilkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu pula
yang dapat dipertanggungjawabkan secara professional (memadai persyaratan sebagai
suatu profesi). Berdasarkan indikator-indikator tersebut maka selanjutnya kita
dapat mempertimbangkan derajat profesionalitasnya (ukuran kadar
keprofesiannya). Jika konsepsi keprofesian itu telah menjadi budaya, pandangan,
paham, dan pedoman hidup seseorang atau sekelompok orang utau masyarakan
tertentu, maka hal itu dapat mengandung makna telah tumbuh-kembang
profesionalisme dikalangan orang atau masyarakat yang bersangkutan. Suatu
profesi umumnya berkembang dari pekerjaan yang kemudian berkembang makin
matang.
Selain
itu, dalam bidang apapun profesionalisme seseorang ditunjang oleh tiga hal.
Tanpa ketiga hal ini dimiliki, sulit seseorang mewujudkan profesionalismenya.
Ketiga hal itu ialah keahlian, komitmen, dan keterampilan yang relefan yang
membentuk sebuah segitiga sama sisi yang ditengahnya terletak profesionalisme.
Ketiga hal itu pertama-tama dikembangkan melalui pendidikan pra-jabatan dan
selanjutnya ditingkatkan melalui pengalaman dan pendidikan/latihan dalam
jabatan. Karena keahliannya yang tinggi maka seorang professional dibayar
tinggi. “ well educated, well trained,
well paid” , adalah salah satu prinsip profesionalisme. Terdapat beberapa
istilah yang berkaitan dengan profesi. Menurut Sanusi et.al ( 1991:19 ) dalam
Pengembangan Profesi Guru, Udin Syafrudin, 2009: 6 menjelaskan ada 5 konsep
mengenai hal tersebut:
1.
Profesi
adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian para anggotanya.
Artinya, ia tidak bias dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih dan
tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. keahlian diperoleh
melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum
seseorang menjalani profesi itu ( pendidikan/latihan pra-jabatan) maupun
setelah menjalani suatu profesi (
in-service training ). Diluar pengertian ini, ada beberapa ciri profesi
khususnya yang berkaitan dengan profesi kependidikan.
2.
Professional
menunjuk pada dua hal. Pertama orang yang menyandang suatu profesi, misalnya “
Dia seorang profesional”. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan
pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Pengertian kedua ini, professional
dikontraskan dengan “ non-profesional” atau “ amatir”.
3.
Profesionalisme
menunjuk kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan
kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang
digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
4.
Profesionalitas
mengacu kepada sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta derajat
pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan
pekerjaannya.
5.
Profesionalisasi
menunjukkan pada proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota
profesi dalam mencapai kriteria yang standar dalam penampilannya sebagai
anggota suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian
proses pengembangan professional ( professional development) baik dilakukan
melalui pendidikan/latihan “pra-jabatan” maupun “dalam-jabatan”. Oleh karena
itu, profesionalisasi merupakan proses yang life-long dan never-ending, secepat
seseorang telah menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi.
Dalam sumber lain, Soetjipto dan
kawan kawan dalam buku Profesi Keguruan,
pada halaman 14 sampai dengan 29, profesi diungkapkan oleh Ornstein dan Levine (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi
Keguruan: 15) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai
dengan pengertian profesi dibawah ini:
a)
Melayani masyarakat, merupakan karier
yang akan dilaksanakan sepnjang hayat ( tidak berganti-ganti pekerjaan).
b)
Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan
tertentu diluar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat
melakukannya).
c)
Menggunakan hasil penelitian dan
aplikasi dari teori ke praktek (teori baru dikembangkan dari hasil
penelitian).
d) Memerlukan
pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
e)
Terkendali berdasarkan lisensi baku dan
atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan
izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat
mendudukinya).
f)
Otonomi dalam membuat keputusan tentang
ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang luar).
g)
Menerima tanggung jawab terhadap
keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan
layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang
diputuskannya, tidak dipindahkan atasan atau instansi yang lebih tinggi).
Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
h)
Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan
klien; dengan penekanan terhadap layanan yang diberikan.
i)
Menggunakan administrator untuk
memudahkan profesinya, relative bebas dari supervise dalam jabatan (misalnya
dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada
supervise dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).
j)
Mempunyai organisasi yang diatur oleh
anggota profesi sendiri.
k)
Mempunyai asosiasi profesi dan atau
kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilian anggotanya
(keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan
Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).
l)
Mempunyai kode etik untuk menjelaskan
hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang
diberikan.
m) Mempunyai
kadar kepercayaan yang tinggi dari public dan kepercayaan diri setiap
anggotanya (anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang
penyakit pasien yang dilayaninya).
n)
Mempunyai status social dan ekonomi yang
tinggi bila disbanding dengan jabatan lainnya).
Tidak jauh berbeda dengan ciri
diatas, sanusi et al. (1991), mengutarakan ciri-ciri utama suatu profesi itu
sebagai berikut (dalam Soetjipto dan
kawan kawan, Profesi Keguruan; 17),
a)
Suatu jabatan yang
memiliki fungsi dan signifikan social yang menentukan (crusial).
b)
Jabatan yang menuntut keterampilan/
keahlian tertentu.
c)
Keterampilan/keahlian yang dituntut
jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori
dan metode ilmiah.
d) Jabatan
itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik,
eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e)
Jabatan itu memerlukan pendidikan
tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f)
Profesi pendidikan untuk jabatan itu jga
merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai professional itu sendiri.
g)
Dalam memberikan layanan kepada
masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol
oleh organsasi profesi.
h)
Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan
dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
i)
Dalam prakteknya melayani masyarakat,
anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.
j)
Jabatan ini mempunyai prestise yang
tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi
pula.
Bila kita bandingkan kriteria yang dipakai
sanisi et al. ini dengan kriteria Ornstein dan Levine yang dibicarakan lebih
dahulu, dapat kita simpulkan bahwa keduanya hampir mirip, dan saling
melengkapi, dan oleh karenanya dapat kita pakai sebagai pedoman dalam
pembicaraan selanjutnya.
Kalau kita pakai acuan ini maka
jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta tukang korang yang disebut pada
bagian pertama jelas bukan profesi. Tetapi yang akan kita bicarakan selanjutnya
adalah jabatan.
2.1.2 Karakteristik Profesi
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak
semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang
membedakannya dari pekerjaan lainnya. Lieberman (1956) (Udin Syaefudin, 2009:9),
mengemukakan bahwa karakteristik profesi kalau dicermati secara seksama
ternyata terdapat titik-titik persamaanya. Diantara pokok-pokok persamaannya
itu ialah sebagai berikut:
1. A unique, denifite,
and essential servise
Profesi itu merupakan suatu jenis
pelayanan atau pekerjaan yang unik (khas), dalam arti berbeda dari jenis
pekerjaan atau pelayanan apapun yang lainnya. Disamping itu, profesi juga
bersifat definitif dalam arti jelas batas-batas kawasan cakupan bidang garapannya
(meskipun mungkin sampai batas dan derajat tertentu ada kontingensinya dengan
bidang lainnya). Selanjutnya, profesi juga merupakan suatu pekerjaan atau
pelayanan yang sangat penting, dalam arti hal itu amat dibutuhkan oleh pihak
penerima jasa sementara pihaknya sendiri tidak memiliki pengetahuan,
ketrampilan dan kemampuan untuk melakukannya sendiri.
2. An
emphasis upon intellektual technique in performing ist service
Pelayanan itu amat menuntut kemampuan
kinerja intellektual, yang berlainan dengan keterampilan atau pekerjaan manual
semata-mata. Benar, kemampuan profesi juga terkadang mempergunakan peralatan
manual dalam praktek pelayanannya, seperti seorang dokter bedah misalnya
menggunakan pisau operasi, namun proses penggunaannya dibimbing oleh suatu
teori dan wawasan intelektual.
3. A long
period of specialized training
Perolehan penguasaan dan pengetahuan
intelektual (wawasan atau visi dan kemampuan atau kompetensi serta kemahiran
atau skills) serta sikap profesional tersebut, seseorang akan memerlukan waktu
yang sangat lama. Untuk mencapai kualifikasi keprofesian sempurna lazimnya
tidak kurang dari lima tahun lamanya, ditambah dengan pengalaman praktek
terbimbing hingga tercapainya suatu tingkat kemandirian secara penuh dalam menjalankan
profesinya. Pendidikan keprosian termaksud lazimnya dilaksanakan pada jenjang
pendidikan tinggi, dengan proses pemagangannya sampai batas waktu tertentu
dalam bimbingan para seniornya.
4. A broat
range of autonomy for both the individual praktitioners ad the occupational
group as a whole
Kinerja pelayanan itu demikian cermat
secara teknis sehingga kelompok (asosiasi) profesi yang bersangkutan sudah
memberikan jaminan bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukannya sendiri
tugas pelayanan tersebut, apa yang seyogyanya dilakukan dan bagaimana
menjalankannya, siapa yang seyogyanya meberikan izin dan lisensi untuk
melaksanakan kinerja itu. Individu-individu dalam kerangka kelomok
asosiasinya pada dasarnya relatif bebas dari pengawasan, dan secara
langsung mereka menangani prakteknya. Dalam hal menjumpai sesuatu kasus yang
berbeda diluar kemampuannya, mereka membuat rujukan (referral) kepada orang
lain dipandang lebih berwenang, atau membawanya kedalam suatu panel atau
konferensi kasus ( case converense).
5. An
acceptance by the practitioners of broad personal responsibility for judgments
made and act performed within the scope of professional autonomy
Konsekuensi dari otonomi yang
dilimpahkan kedapa seorang tenaga praktisi profesional itu, maka berarti pula
ia memikul tanggung jawab pribadinya harus secara penuh. Apapun yang terjadi,
seperti dokter keliru melakukan diagnosis atau memberikan perlakuan terhadap
pasiennya atau seorang guru yang keliru menangani permasalahan siswanya, maka
kesemuanya itu harus dipertanggungjawabkannya, serta tidak selayaknya
mnudingkan atau melemparkan kekeliruannya kepada pihak lain.
6. An
emphasis upon the service to be rendered, rather than the economic gain to the
practitioners, as the basis for the organization and performance of the social service
delegated to the occupational group
Mengingat pelayanan profesional itu
merupakan hal yang amat esensial (dipandang dari pihak masyarakat yang
memerlukannya) maka hendaknya kinerja pelayanan tersebut lebih mengutamakan
kepentingan pelayanan pemenuhan kebutuhan tersebut, ketimbang untuk
kepentingan perolehan imbalan ekonomis yang akan diterimanya. Hal itu bukan
berarti pelayanan profesional tidak boleh memperoleh imbalan yang selayaknya.
Bahkan seandainya kondisi dan situasi menuntut atsu memanggilnya, seorang
profesional itu hendaknya bersedia memberikan pelayanan tanpa imbalan
sekalipun.
7. A conpehensive
self-gouverning organization of practitioner
Mengingat pelayanan itu sangat teknis
sifatnya, maka masyarakat menyadari bahwa pelayanan semacam itu hanya mungkin
dilakukan penanganannya oleh mereka yang kompeten saja. Karena masyarakat awam
yang kompeten yang bersangkutan, makakelompok(asosiasi) para praktisi itu
sendiri satu-satunya institusi yang seyogyanya menjalankan peranan yang ekstra,
dalam arti menjadi polisi atau dirinya sendiri, iyalah mengadaksn pengendalian
atas anggotanya mulai saat penerimaannya dan memberikan sanksinya bilamana
diperlukan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kode etikanya.
8. A code of
ethics which has been clarified and interpreted at ambiguous and doubtful
points by concrete cases
Otonomi yang dimiliki dan dinikmati
oleh organisasi profesi dengan para anggotanya seyogyanya disertai kesadaran
dan iktikad yang tulus baik pada organisasi maupun pada individual anggotanya
untuk memonitor perilakunya sendiri. Mengingat organisasi dan sekaligus juga
anggotanya harus menjadi polisi atas dirinya sendiri maka hendaknya mereka
bertindak sesuai dengan kewajiban dan tuntunan moralnya baik terhadapklien
maupun masyarakatnya. Atas dasar itu, adanya suatu perangkat kode etika yang
telah disepakati bersama oleh yang bersangkutan seyogyanya membimbing hati
nuraninya dan mempedomani segala tingkah lakunya.
Dari keterangan tersebut, maka pada
intinya bahwa sesuatu pekerjaan itu dapat dipandang sebagai suatu profesi
apabila minimal telah memadai hal – hal sebagai berikut.
1)
Memiliki cakupan ranah kawasan pekerjaan
atau layanan khas, definitif dan sangat penting dan dibutuhkan masyarakat.
2)
Para pengemban tugas pekerjaan atau
pelayanan tersebut telah memiliki wawasan, pemahaman dan penguasaan pengetahuan
serta perangkat teoritisyang relevan secara las dan mendalam; menguasai
perangkat kemahiran teknis kinerja pelayanan memadai persyaratan standarnya;
memiliukiu sikap profesi dan semangat pengabdian yang positif dan tinggi; serta
kepribadian yang mantap dan mandiri dalam menunaikan tugas yang diembannya
dengan selalu mempedomani dan mengindahkankode etika yang digariskan institusi
(organisasi) profesinya.
3)
Memiliki sistem pendidikan yang mantap
dan mapan berdasarkan ketentuan persyaratan standarnya bagi penyiapan
(preservice) maupun pengembangan (inservice, continuing, development) tenaga
pengemban tugas pekerjaan profesional yang bersangkutan; ang lazimnya
diselenggarakan pada jenjangpendidikan tinggi berikut lembaga lain dan
organisas profesinya yang bersangkutan.
4)
Memiliki perangkat kode etik profesional
yang telah disepakati dan selalu dipatuhi serta dipedomani para anggota
pengemban tugas pekerjaan atau pelayanan profesional yang bersangkutan. Kode
etik profesional dikembangkan, ditetapkan dan diberdayakan kefektivannya oleh
organisasi profesi yang bersangkutan.
5)
Memiliki organisasi profesi yang
menghimpun, membina dan mengembangkan kemampuan profesional, melindungi kepentingan
profesional serta memajukan kesejahteraan angotanya dengan senantiasa
mengindahkan kode etikanya dan ketentuan orgaisasinya.
6)
Memiliki jurnal dan sarana publikasi
profesional lainnya yang menyajikan berbagai karya penelitian dan kegiatan
ilmiah sebagai media pembinaan dan pengembangan para anggtanya serta pengabdian
kepada masyarakat dan khazanah ilmu pengetahuan yang menopang profesinya.
7)
Memperoleh pengakuan dan penghargaan
yang selayaknya baik secara sosial (dari masyarakat) dan secara legal (dari
pemerintah yang bersangkutan atas keberadaan dan kemanfaatan profesi tersebut).
2.1.3 Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi
Kependidikan
Sebelum membahas mengenai pengertian
dan syarat- syarta profesi kependidikan, ada baiknya, mengetahui terlebih
dahulu mengenai syarat- syarat profesi secara umum. Robert W. Richey (Arikunto, 1990:235 dalam Udin Syaeffudin
Saud, Pengembangan Profesi Guru: 15) mengemukakan ciri – ciri dan syarat –
syarat profesi sebagai berikut.
1. Lebih
mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan
pribadi.
2. Seorang
pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk
mempelajari konsep – konsep serta prinsip – prinsip pengetahuan khusus yang
mendukung keahliannya.
3. Memiliki
kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti
perkembangan dalam pertumbuhan jabatan.
4. Memiliki kode
etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja.
5. Membutuhkan
suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
6. Adanya organisasi
yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi serta
kesejahteraan anggotanya.
7. Memberikan
kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian.
8. Memandang
profesi suatu karier hidup (alive career) dan menjadi seorang anggota yang
permanen.
Khusus untuk jabatan guru, sebenarnya
juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya Nasional Education
Asociation (NEA) (Soetjipto dan Raflis
Kosasih, Profesi Keguruan:18 ) menyarankan criteria berikut :
a)
Jabatan yang melibatkan kegiatan
intelektual.
b)
Jabatan yang menggeluti suatu batang
tubuh ilmu yang khusus.
c)
Jabatan yang memerlukan persiapan
professional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan
umum belaka).
d)
Jabatan yang memerlukan “latihan dalam
jabatan” yang berkesinambungan.
e)
Jabatan yang menjanjikan karier hidup
dan keanggotaan yang permanen.
f)
Jabatan yang menentukan baku
(standarnya) sendiri.
g)
Jabatan yang lebih mementingkan layanan
diatas keuntungan pribadi.
h)
Jabatan yang mempunyai organisasi professional
yang kuat dan terjalin erat.
Sekarang yang menjadi pertanyaan
lebih lanjut adalah apakah semua kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan
mengajar atau oleh guru? Mari kita lihat satu persatu.
a)
Jabatan yang Melibatkan Kegiatan Intelektual
Jelas sekali bahwa jabatan guru
memenuhi kriteria ini, karena mengajar melibatkan upaya-upaya yang sifatnya
sangat didominasi kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa
kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi persiapan
dari semua kegiatan professional lainya. Oleh sebab itu, mengajar sering kali
sebagai ibu dari segala profesi (Stiennett
dan Huggett, 1963 dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan,
2004:18).
b)
Jabatan
yang Menggeluti Suatu Batang Tubuh Ilmu Khusus
Semua jabatan mempunyai monopoli
pengetahuan yang memisahkan anggota mereka dari orang awam, dan memungkinkan
mereka mengadakan pengawasan tentang jabatannya. Anggota-anggota suatu profesi
menguasai bidang ilmu yang membangun keahlian mereka dan melindungi masyarakat
dari penyalahgunaan, amatiran yang tidak terdidik, da kelompok tertentu yang
ingin mencari keuntungan (misalnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab
yang membuka praktek dokter). Namun, belum ada kesepakatan tentang bidang ilmu khusus
yang melatari pendidikan (education) atau keguruan (teaching) (Ornstein and
Levine, 1984 , dalam Soetjipto dan Raflis
Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:19).
Terdapat berbagai pendapat tentang
apakah mengajar memenuhi persyaratan kedua ini. Mereka yang bergerak dibidang
pendidikan menyatakan bahwa mengajar telah mengembangkan secara jelas bidang
khusus yang sangat penting dalam mempersiapkan guru yang berwenang. Sebaliknya,
ada yang berpendapat bahwa mengajar belum mempunyai batang tubuh ilmu khusus
yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama percaya nahwa mengajar adalah
suatu sains (science), sementara kelompok kedua mengatakan bahwa mengajar
adalah suatu kiat (art) (Stinnett dan Huggett, 1963). Namun, dalam
karangan-karangan yang ditulis dalam Encyclopedia of Educational Research,
misalnya terdapat bukti-bukti bahwa pekerjaan mengajar telah secara intensif
mengembangkan batang tubuh ilmu khususnya. Sebaliknya masih ada juga yang
berpendapat bahwa ilmu pendidikan sedang dalam krisis identitas sebagai a body
of knowledge samar-samar (Sanusi et al., 1991, dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:19)).
Sementara itu, ilmu pengetahuan tingkah laku (behavioral Sciences), ilmu
pengetahuan alam, dan bidang kesehatan dapat di bombing langsung dengan
peraturan dan prosedur yang ekstensif dan menggunakan metodologi yang jelas.
Ilmu pendidikan kurang terdefinisi dengan baik. Di samping itu, ilmu yang
terpakai dalam dunia nyata pengajaran masih banyak yang belum teruji
validasinya dan yang disetujui sebagian besar ahlinya (Gideonse, 1982 dan
Woodring, 1983 dalam Soetjipto dan Raflis
Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:20).
c)
Jabatan
yang Memerlukan Persiapan Professional yang Lama
Lagi-lagi terdapat perselisihan
pendapat mengenai hal ini. Yang membedakan jabatan professional dengan
non-prpfesional antara lain adalah dalam penyelesaian pendidikan melalui
kurikulum, yaitu ada yang diatur universitas/instut atau melalui pengalaman
praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah. Yang pertama, yakni
pendidikan melalui perguruan tinggi disediakan untuk jabatn professional,
sedangkan yang kedua, yakni pendidikan melalui pengalaman praktek dan
pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah diperuntukkan bagi jabatan yng
non-profesional (Ornstein dan Levine, 1984. dalam
Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:21). Tetapi jenis
kedua ini ada lagi di Indonesia.
Anggota kelompok guru yang berwenang
didepartemen pendidikan dan kebudayaan berpendapat bahwa persiapan professional
yang cukup lama amat perlu untuk mendidik guru yang berwenang. Konsep ini
menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum perguruan tinggi, yang terdiri dari
pendidikan umum, professional, dan khusus, sekurang-kurangnya empat tahun bagi
guru pemula (S1 di LPTK), atau pendidikan persiapan professional di LPTK paling
kurang selama setahun setelah mendapat gelar akademik S1 di perguruan tinggi
non-LPTK. Namun, sampai sekarang di Indonesia, ternyata masih banyak guru yang
lama pendidikan mereka sangat singkat, malahan masih ada yang hanya seminggu,
sehingga tentu saja kualitas masih sangat jauh untuk dapat memenuhi persyaratan
yang kita harapkan.
d)
Jabatan
yang Memerlukan “Latihan Dalam Jabatan” yang Berkesinambungan
Jabatan guru cenderung menunjukkan
bukti yang kuat sebagai jabatan professional, sebab hampir tiap tahun guru
melakukan berbagai kegiatan pelatihan professional, baik yang mendapat
penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang
bermacam-macam pendidikan professional tambahan diikuti guru-guru dalam menyetarakan
dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan. (Ingat penyetaraan D-II untuk
guru-guru SD, dan penyetaraan D-III untuk guru-guru SLTP, baik melalui tatap
muka di LPTK tertentu maupun lewat pendidikan jarak jauh yang dikoordinasikan
Universitas Terbuka).
e)
Jabatan
yang Menjanjikan Karier Hidup dan Keanggotaan yang Permanen.
Di luar negeri barangkali syarat
jabatan guru sebagai karier permanen merupakan titik yang paling lemah dalam
menuntut bahwa mengajar adalah jabatan professional. Banyak guru baru yang
hanya bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesinya mengajar,
setelah itu mereka pindah kerja ke bidang lain, yang lebih banyak menjanjikan
bayaran yang lebih tinggi. Untunglah di Indonesia kelihatannya tidak begitu
banyak guru yang pindah ke bidang lain, walaupun bukan berarti pula bahwa
jabatan guru di Indonesia mempunyai pendapatan yang tinggi. Alasannya mungkin
karena lapangan kerja dan system pindah jabatan yng agak sulit. Dengan demikian
kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan guru di Indonesia.
f)
Jabatan
yang Menentukan Baku (Standarnya) Sendiri
Dalam setiap jabatan profesi setiap
anggota kelompok dianggap sanggup untuk membuat keputusan professional
berhubungan dengan iklik kerjanya. Para professional biasanya membuat peraturan
sendiri dalam daerah kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang berhubungan
dengan pengawasan yang efektif tentang hal-hal yang berhubungan dengan
pekerjaan dan hal-hal yng berhubungan dengan langganan (klien)nya. Sebetulnya
pengawasan luar adalah musuh alam dari profesi, karena membatasi kekuasaan
profesi dan membuka pintu terhadap pengaruh luar (Ornstein dan Levine,1984. dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi
Keguruan, 2004:23).
Peter Blau dan W. Richard Scott dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi
Keguruan, 2004:23 menulis;
“professional service …
require that the (professional) maintain independence of judgement and not
permit the clients wishes as distinguished their interests to influence his
decisions.”
Para professional harus mempunyai
pengetahuan dan kecakapan dalam membuat penilaian, sebaliknya tidak demikian
dengan klien, sebagaimana ditulis Blau dan Scott, “ and the clients not
qualified to evaluate the service he needs”. Professional yang membolehkan
langganannya untuk mengatakan apa yang harus dia kerjakan akan gagal dalam memberikan
layanan yang optimal.
Bagaimana dengan guru? Guru,
sebagaimana sudah diutarakan juga diatas, sebaliknya membolehkan orang tua,
kepala sekolah, pejabat kantor wilayah, atau anggota masyarakat lainnya
mengatakan apa yang harus dilakukan mereka. Otonomi professional tidak berarti
bahwa tidak ada sama sekali control terhadap professional. Sebaliknya, ini
berarti bahw control yang memerlukan kompetensi teknis hanya dapat dilakukan
oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan professional dalam hal itu.
g)
Jabatan
yang Lebih Mementingkan Layanan Diatas Keuntungan Pribadi
Jabatan mengajar adalah jabatan yang
mempunyai nilai social yang tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Guru yang baik
akan sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih baik dari warga
Negara masa depan.
Jabatan guru telah terkenal secara
universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan
untuk membantu orang lain, bukan disebabkan oleh keuntungan ekonomi atau
keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatn ini berdasarkan apa yang dianggap baik
oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau
lahiriah. Namun, ini tidak berarti bahwa guru harus dibayar lebih rendah tetapi
juga jangan mengaharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru. Oleh sebab
itu, tidak perlu diragukan lgi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi
dengan baik.
h)
Jabatan
yang Mempunyai Organisasi Professional yang Kuat dan Terjalin Erat
Semua profesi yang dikenal mempunyai
organisasi professional yang kuat untuk dapat mewadahi tjuan bersama dan
melindungi anggotanya. Dalam beberapa hal, jabatan guru telah memenuhi kriteria
ini dan dalam hal lain belum dapat dicapai. Di Indonesia telah ada Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru muali dari
guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah lanjutan atas, dan ada pula Ikatan
Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) yang mewadahi seluruh sarjana pendidikan.
Di samping itu, juga telah ada kelompok guru mata pelajaran sejenis baik pada
tingkat daerah maupun nasional, namun belum terkait secara baik dengan PGRI.
Harus dicarikan usaha yang sungguh-sungguh agar kelompok-kelompok guru mata
pelajaran sejenis itu tidak dihilangkan, tetapi dirangkul kedalam pangkuan PGRI
sehingga merupakan jalinan yang amat rapi dari suatu profesi yang baik.
Berdasarkan analisis ini tampaknya
jabatan guru belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai suatu profesi yang
utuh, dan bahkan banyak orang sependapat bahwa guru hanya jabatan
semiprofessional atau profesi yang baru muncul (emerging profession) karena
belum semua ciri-ciri diatas yang dapat dipenuhi.
Selanjutnya Robert B. Howsam et al.
(1976) dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:25, menulis
bahwa guru dilihat sebagai profesi yang baru muncul, dank arena itu mempunyai
status yang lebih tinggi dari jabatan semiprofessional, malahan mendekati
status jbatan profesi penuh. Pada saat sekarang, seperti telah dijelaskan juga
didepan, sebagian orang cenderung menyatakan guru sebagai suatu profesi, dan
sebagian lagi tidak mengakuinya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan jabatan guru
sebagian, tapi bukan seluruhnya, adalah jabatan professional, namun sedang
bergerak kearah itu. Kita di Indonesia dapat merasakan jalan kea rah itu mulai
ditapaki, misalnya dengan adanya peraturan dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan bahwa yang boleh menjadi guru hanya yang mempunyai akta
mengajar yang dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Selain itu, juga guru diberi penghargaan oleh pemerintah melalui Keputusan
Menpan No. 26 Tahun 1989, dengan memberikan tunjangan fungsional sebagai
pengajar, dan dengan kemungkinan kenaikan pangkat yang terbuka.
Profesi kependidikan, khususnya
profesi keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia
pendidikan. Sejalan dengan alasan tersebut, jelas kiranya bahwa
profesionalisasi dalam bidang keguruan mengandung arti peningkatan segala daya
dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang akan diberikan
kepada masyarakat. Lebih khusus lagi, Sanusi et al. (1991) dalam Soetjipto dan
Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:26 mengajukan enam asumsi yang melandasi
perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yakni sebagai berikut:
1) Subjek pendidikan adalah
manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat
dikembangkan segala potensinya; sementara itu pendidikan dilandasi oleh
nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia.
2) Pendidikan dilakukan
intensional, yakni secara sadar dan bertujuan, maka pendidikan menjadi
normative yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara
universal, nasional, maupun local, yang merupakan acuan para pendidik, peserta
didik, dan pengelola pendidikan.
3) Teori-teori pendidikan
merupakan kerangka hipotetis dalam menjawab permasalahan pendidikan.
4) Pendidikan bertolat dari
asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk
berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi
unggul tersebut.
5) Inti pendidikan terjadi
dalam prosenya, yakni situasi dimana terjadi dialog antara peserta didik dengan
pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh kearah yang dikenhendaki oleh
pendidik dan selaras dngan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
6) Sering terjadinya dilemma antara
tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusi yang baik
(dimensi intriksik) dengan misi instrumental yakni yang merupakan alat untuk
perubaan atau mencapai sesuatu.
2.1.4 Perkembangan
Profesi Keguruan
Kalau kita ikuti perkembangan profesi
keguruan di Indonesia, jelas bahwa pada mulanya guru-guru Indonesia diangkat
dari orang-orang yang tidak berpendidikan khusus untuk memangku jabatan guru.
Dalam bukunya sejarah pendidikan Indonesia, Nasution (1987) dalam Soetjipto dan
Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004: 27 secara jelas melukiskan sejarah
pendidikan di Indonesia terutama dalam zaman colonial Belanda, termasuk juga
sejarah profesi keguruan. Guru-guru yang pada mulanya diangkat dari orang-orang
yang tidak dididik secara khusus menjadi guru, secara berangsu-angsur
dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru yang lulus dari sekolah guru
(Kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo tahun 1852. Karena kebutuhan
yang mendesak maka Pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru, yakni
: (1) Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang
penuh, (2) guru yang bukan lulusan sekolah guru, tetapi lulus ujian yang
diadakan untuk menjadi guru, (3) guru bantu, yakni yang lulus ujian guru bantu,
(4) guru yang dimagangkan kepada seorang guru senior, yang merupakan calon
guru, dan (5) guru yang diangkat karena keadaan yang amat mendesak yang beasal
dari warga yang pernah mengecap pendidikan. Tentu saja yang terakhir ini sangat
beragam dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Walaupaun sekolah guru telah dimualai
dan kemudian juga didirikan sekolah normal, namun mulanya bila dilihat dari
kurikulumnya dapat kita katakana hany mementingkan pengetahuan yang akan
diajarkan saja. Kedalamnya belum dimasukkan secara khusus kurikulum ilmu
mendidik dan psikologi. Sejalan dengan pendirian sekolah-sekolah yang lebih
tinggi tingkatnya dari sekolah umum seperti Hollands Inlandse School (HIS),
Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hogere Burgeschool (HBS), dan Algemene
Middelbare School (AMS) maka secara berangsur-angsur didirikan pula lembaga
pendidikan guru atau kursus-kursus untuk mempersiapkan guru-gurunga, seperti
Hogere Kweekschool (HKS) untuk guru HIS dab kursus Hoofdacte (HA) untuk calon kepala
sekolah (Nasution 1987).
Keadaan yang demikian berlanjut
sampai zaman pendudukan jepang dan awal perang kemerdekaan, walaupun dengan
nama dan bentuk lembaga pendidikan guru yang disesuaikan dengan keadaan waktu
itu. Selangkah demi selangkah pendidkan guru meningkatkan jenjng kualifikasi
dan mutunya, sehingga saat ini kita hanya mempunyai lembaga pendidikan guru
yang tunggak, yakni Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Walaupun
jabatan guru tidak harus disebut jbatan professional penuh, statusnya mulai
membaik. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yuang
mewadahi persatuan guru, dan juga mempunyai perwakilan perwakilan di DPR/MPR.
2.2 Kode Etik Profesi Keguruan
Setiap profesi, seperti telah
dibicarakan dalam bagian terdahulu, harus mempunyai kode etik profesi. Dengan
demikian, jabatan dokter, notaries, arsitek, guru dan lain-lain yang merupakan
bidang pekerjaan profesi mempunyai kode etik. Sama halnya dengan kata profesi
itu sendiri, penafsiran tentang kode etik juga belum memiliki pengertian yang
sama. Sebagai contoh, dapat dicantumkan beberapa pengertian kode etik, antara
lain sebagai berikut:
2.2.1 Pengertian Kode
Etik Profesi Keguruan
Secara umum, kode etik profesi adalah
suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat
tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode
etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma
hukum.
Etika berasal dari bahasa yunani
yaitu kata “ethos” yang berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap.
Yang pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang
bernama Aris Toteles (384–322 SM). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012),
etika / moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban dan sebagainya.
Menurut K. Bertenes, Etika adalah
nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam
mengatur tingkah lakunya. Dari pengertian di atas, disimpulkan bahwa Etika
merupakan ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan tingkah laku (akhlak).
Jadi, Etika membicarakan tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar di
pandang dari sudut baik dan buruk sebagai suatu hasil penilaian.
Sedangkan menurut Menurut Gibson and
Mitchel (1995;449), suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu
profesi yang diterjemahkan dalam standar prilaku anggotanya. Nilai profesional
tadi ditandai adanya sifat altruistis artinya lebih mementingkan kesejahteraan
orang lain dan berorientasi pada pelayanan umum dengan prima.Kode etik
dijadikan standar aktivitas anggota profesi, kode etik itu sekaligus dijadikan
pedoman tidak hanya bagi anggota profesi
tetapi juga dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk menjaga bias/kesewenangan
penggunaan kode etik.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian. Pasal 28 Undang-Undang ini dengan jelas
menyatakan bahwa “pegawai Negeri Sipil mempunyai Kode Etik sebagai pedoman sikap,
tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan “. Dalam penjelasan
Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya Kode Etik ini, pegawai
negeri sipil sebagai aparatur Negara, abdi Negara, dan abdi masyarakat
mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan
tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya, dalam Kode Etik
Pegawa Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat kita
simpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan
di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.
Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan
dalam Kongres PGRI pada tahun 1973 pada Kongres ke XIII di Jakarta. Kemudian
disempurnakan pada Kongres ke XVI tahun 1989 di Jakarta. Dalam pidato pembukaan
kongres PGRI XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik
Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga
PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru
(PGRI,1973). Dari pendapat Ketuan Umum Guru Indonesia terdapat dua unsure pokok
yakni: (1) Sebagai landasan moral, (2) Sebagai pedoman tingkah laku.
Kode Etik juga dapat diartikan
sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu
kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai
pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa
sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi
perbuatan yang tidak profesional. Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode
etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota
suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu
profesi yang diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya.
Dari uraian tersebut terlihat, bahwa
kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap
anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidup di masyarakat.
Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang
bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan, yaitu
ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan
oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan dalam
pergaulannya sehari-hari di dalam masyarakat ( Prof. Soetjipto dan Drs. Raflis
Kosasi, M.Sc. (2004 : 29)
Jadi dapat ditarik benang merah bahwa
kode etik guru diartikan sebagai aturan tata-susila keguruan.Aturan-aturan
tentang keguruan (yang menyangkut pekerjaan-pekerjaan guru) melibatkan dari
segi usaha. Maksud dari kode etik guru di sini adalah norma-norma yang mengatur
hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan (sekolah);
guru dengan sesama guru; guru dengan peserta didik; dan guru dengan
lingkungannya.Sebagai sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan kode
etik khusus untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut.
2.2.2 Tujuan Kode
Etik Profesi
Tujuan utama dari kode etik adalah
memberi pelayanan khusus dalam masyarakat tanpa mementingkan kepentingan
pribadi atau kelompok. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak
profesional. Dalam proses pendidikan, banyak unsur-unsur yang terlibat agar proses
pendidikan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya adalah guru sebagai tenaga
pendidik. Tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk
kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum
tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut (R. Hermawan S, 1979):
a.
Untuk
menjunjung tinggi martabat profesi
Dalam hal ini kode etik dapat menjaga
padangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai
memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya.
Setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk rindak-tanduk atau
kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap
dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga sering kali di sebut kode etik kehormatan.
b.
Untuk
menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
Yang dimaksud kesejahteraan disini
baik kejahteraan lahir ( material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau
mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para anggota profesi kode etik umumnya
memuat larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya
dengan menetapkan tariff-tarif minimum bagi honorarium anggotan profesi dalam
melaksanakan tugasnya. Sehingga siapa-siapa yang mengadakan tariff dibawah
minimum akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal
kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberikan
petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk melaksanakan profesinya.
c.
Untuk
meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Tujuan kode etik dapat juga
berkaiatan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para
anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya
dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan
ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dlam menjalankan
tugasnya.
d.
Untuk
meningkatkan mutu profesi
Untuk meningkatkan mutu profesi kode
etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu
berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.
e.
Untuk
meningkatkan mutu organisasi profesi
Untuk meningkatkan mutu organisasi
profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif
berpartisipasi dalam membina organisasi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang
organisasi.
Dari uraian tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk
menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para
anggota, meningkatkan pengabdian anggotan profesi, dan meningkatkan mutu
profesi dan mutu organisasi profesi.
2.2.3 Penetapan Kode
Etik
Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh
suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan
kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan
demikian, jelas bahwa orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi
tersebut, tidak dapat dikenakan aturan yang ada dalam kode etik tersebut. Kode etik
suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin
dikalangan profesi tersebut, jika semua orang yang menjalankan profesi tersebut
tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang bersangkutan.
Apabila setiap orang yang menjalankan
suatu profesi secara otomatis tergabung didalam suatu organisasi atau ikatan
professional, maka barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan
secara murni dan baik, karena setiap anggotan profesi yang melakukan
pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.
2.2.4 Sanksi
Pelanggaran Kode Etik
Sering juga kita jumpai, bahwa ada
kalanya Negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal yang semula hanya
merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi
peraturan hokum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka aturan yang
mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi
aturan yang member sanksi-sanksi hokum yang sifatnya memaksa, baik berupa
sanksi perdata maupun sanksi pidana.
Pada umumnya, karena kode etik adalah
landasan moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan maka
sanksi terhadap pelaggaran kode etik adalah sanksi moral. Barang siapa
melanggar kode etik akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi
yang dianggap terberat adalah si pelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi.
Adanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu, menandakan bahwa
organisasi profesi itu telah mantap.
2.2.5 Kode Etik Guru
Indonesia
Pada dasarnya guru adalah tenaga
professional di bidang kependidikan yang memiliki tugas mengajar, mendidik, dan
membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berpribadi (pancasila). Dengan
demikian, guru memiliki kedudukan yang sangat penting dan tanggung jawab yang
sangat besar dalam menangani berhasil atau tidaknya program pendidikan.Kalau
boleh dikatakan sedikit secara ideal, baik atar buruknya suatu bangsa di masa
mendatang banyak terletak di tangan guru.
Sehubungan dengan itu guru sebagai
tenaga professional memerlukan pedoman atau kode etik guru agar terhidar dari
segala bentuk penyimpangan. Kode etik menjadi pedoman baginya untuk tetap
professional (sesuai dengan tuntutan dan persyaratan profesi).Setiap guru yang
memegang keprofesionalannya sebagai pendidik akan selalu berpegang epada kode
etik guru. Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada
profesi itu sendiri.
Kode etik yang memedomani setiap
tingkah laku guru senantiasa sangat diperlukan. Karena dengan itu penampilan guru
akan terarah dengan baik, bahkan akan terus bertambah baik. Ia akan terus
menerus memperhatikan dan mengembangkan profesi keguruannya. Kalau kode etik
yang merupakan pedoman atau pegangan itu tidak dihiraukan berarti akan
kehilangan pola umum sebagai guru. Jadi postur kepribadian guru akan dapat
dilihat bagaimana pemanfaatan dan pelaksanaan dari kode etik yang sudah
disepakati bersama tersebut. Dalam hubungan ini jabatan guru yang betuk-betuk
professional selalu dituntut adanya kejujuran professional. Sebab kalau tidak
ia akan kehilangan pamornya sebagai guru atau boleh dikatakan hidup diluar
lingkup keguruan.
Fungsi kode etik guru Indonesia
adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI
dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik didalam maupun di luar
sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan demikian mka
Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk pembentukan
sikap professional para anggota profesi keguruan.
Pada dasarnya kode etik memiliki
fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Fungsi
seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel (1945 : 449)
yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas prosefional
dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang professional.
Kode etik guru sesungguhnya merupakan
pedoman dengan fungsinya mengatur hubungan guru dengan teman kerja, murid dan
wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi tugasnya. Menurut Oteng
Sutisna (1986 : 364) bahwa pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya
difungsikan sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan
misi dalam mendidik peserta didik. Etika hubungan guru dengan peserta didik
menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979),
yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim
belajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik.
Dengan ditandai adanya perilaku
empati, penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan
ketulusan serta kejelasan ekspresi seorang guru.Seorang guru apabila ingin
menjadi guru yang professional harusnya mendalami serta memiliki etika diatas
tersebut.
Etika hubungan garis dengan pimpinan
di sekolah menuntut adanya kepercayaan. Bahwa guru percaya kepada pimpinan
dalam meberi tugas dapat dan sesuai dengan kemampuan serta guru percaya setiap
apa yang telah dikerjakan mendapatkan imbalan dan sebaliknya bahwa pimpinan
harus yakin bahwa tugas yang telah diberikan telah dapat untuk dilaksanakan.
Guru sangat perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat untuk kepentingan
pendidikan. Guru juga harus menghayati apa saja yang menjadi tanggung jawab
tugasnya.
KODE ETIK GURU
INDONESIA
Guru Indonesia menyadari, bahwa
pendidikan dalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan
Negara serta kemanusiaan pada umunya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan
setia pada Undang-Undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya
cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab
itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani
dasar-dasar sebagai berikut:
1.
Guru berbakti membimbing peserta didik
untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2.
Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran
professional.
3.
Guru menciptakan suasana sekolah
sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
4.
Guru memelihara hubungan baik dengan
orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa
tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
5.
Guru secara pribadi dan bersama-sama
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
6.
Guru memelihara hubungan seprofesi,
semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan social.
7.
Guru secara bersama-sama memelihara dan
meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai perjuangan dan pengabdian.
8.
Guru melaksanakan segala kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang pendidikan.
Adapun lebih jelasnya, rinciannya
adalah sebagai berikut,
1.
Guru
Berbakti Membimbing Anak Didik Seutuhnya Untuk Membentuk Manusia Pembangunan
Yang Ber-Pancasila
Maksud dari rumusan
ini, sesuai dengan roeping-nya, guru harus mengabdikan dirinya secara ikhlas
untuk menuntun dan mengantarkan anak didik seutuhnya, baik jasmani maupun
rohani, baik fisik maupun mental agar menjadi insan pembangunan yang menghayati
dan mengamalkan serta melaksanakan berbagai aktivitasnya dengan mendasarkan
pada sila-sila pada Pancasila. Guru harus membimbing anak didiknya kearah hidup
yang selaras, serasi dan seimbang.
2.
Guru
Memiliki Kejujuran Professional Dalam Menerapkan Kurikulum Sesuai Dengan
Kebutuhan Anak Didik Masing-masing
Berkaitan dengan item
ini, maka guru harus mendesain program pengajaran sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan setiap anak didik.Yang lebih penting lagi guru harus menerapkan
kurikulum secara benar, sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak
didik.Kurikulum dan program pengajaran untuk tingkat SD harus juga diterapkan
di SD, kurikulum untuk tingkat perguruan tinggi harus juga diterapkan untuk
perguruan tinggi begitu seterusnya. Bukan asal gampangnya saja, kurikulum untuk
program SMP dapat digunakan di SD, SMA dan bahkan digunakan untuk perguruna
tinggi. Hal semacam ini berarti guru sudah melanggar kejujuran profesional.
3.
Guru
Mengadakan Komunikasi, Terutama Dalam Memperoleh Informasi Tentang Anak Didik
Dalam kaitan belajar-mengajar, guru
perlu mengadakan komunikasi dan hubungan baik dengan anak didik.Hal ini
terutama agar guru mendapatkan informasi secara lengkap mengenai diri anak
didik. Dengan mengetahui keadaan dan karakteristik anak didik ini, maka akan
sangat membantu bagi guru dan siswa dalam upaya menciptakan proses
belajar-mengajar yang optimal. Untuk ini ada ha-hal yang perlu diperhatikan,
yakni; (1) segala bentuk kekakuan dan ketakutan harus dihilangkan dari perasaan
anak didik, tetapi sebaliknya harus dirangsang sedemikian rupa sehingga sifat
terbuka, berani mengemukakan pendapat dan segala masalah yang dihadapinya, (2)
semua tindakan guru terhadap anak didik harus selalu mengandung unsur kasih
sayang, ibarat orang tua dengan anaknya. Guru harus bersifat sabar, ramah,
terbuka, (3) diusahakan guru dan anak didik dalam satu kebersamaan orientasi
agar tidak menimbulkan suasana konfli. Sebab harus dimaklumi bahwa sekolah atau
kelas merupakan kumpulan subjek-subjek yang heterogen, sehingga keadaannya
cukup kompleks, (4) kemudian yang harus diingat oleh guru adalah dalam
mengadakan komunikasi.Hubungan yang harmonis dengan anak didik itu tidak boleh
disalahgunakan.Dengan sifat ramah, kasih sayang dan saling keterbukaan dapat
diperoleh informasi mengena diri anak didik secara lengkap.Ini semata-mata demi
kepentingan belajar anak didik, tidak boleh untuk kepentingan guru, apalagi
untuk maksud-maksud pribadi guru itu sendiri.
4.
Guru
Menciptakan Suasana Kehidupan Sekolah Dan Memelihara Hubungan Dengan Orang Tua
Murid Sebaik-baiknya Bagi Kepentingan Anak Didik
Guru menciptakan suasana kehidupan
sekolah, maksudnya bagaimana guru itu dapat menciptakan kondisi-kondisi
optimal, sehingga anak itu bisa belajar, harus belajar, perlu dididik dan perlu
bimbingan. Usaha menciptakan suasana kehidupan sekolah sebagaimana dimaksud
diatas, akan menyangkut dua hal; (1) yang berkaitan dengan proses
belajar-mengajar di kelas secara langsung meliputi hal-hal pengaturan
tata-ruang kelas yang lebih kondusif untuk kepentingan pengajaran, penciptaan
iklim atau suasana belajar-mengajar yang lebih serasi dan menyenangkan,
misalnya pembinaan situasi keakraban di dalam kelas, (2) menyiptakan kehidupan
sekolah dalam arti luas yakni meliputi sekolah secara keseluruhan.Dalam
hubungan ini dituntut adanya hubungan baik dan interaksi antara guru dengan
guru, guru dengan anak didik, guru dengan pegawai, pegawai deengan anak didik.
Dengan demikian, memang dituntut adanya keterlibatan semua pihak di dalam
lembaga kependidikan, sehingga dapat menunjang berhasilnya proses
belajar-mengajar. Selanjutnya dalam mengusahakan keberhasilan proses
belaja-mengajar itu, guru juga harus membina hubungan baik dengan orang tua
murid. Melalui hal ini diharapkan dapat mengetahui keadaan anak didiknya dan
bagaimana kegiatan belajarnya di rumah.Juga untuk mengetahui beberapa hal
tentang anak didik melalui orang tuanya, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
untuk menentukan kegiatan belajar-mengajar yang lebih baik.Hubungan baik antara
guru dengan orang tua murid merupakan factor yang tidak dapat ditinggalkan,
karena keberhasilan belajar anak didim tidak dapat dipisahkan dengan bagaimana
keadaan dan usaha orang tua murid.Apalagi kalau ada kaitannya dengan tugas dan
kewajiban guru sebagai pendidik, dalam upaya membina kepribadian anak didik,
maka andil orang tua sangat menentukan.
5.
Guru
Memelihara Hubungan Baik Dengan Masyarakat Disekitar Sekolahnya Maupun
Masyarakat Yang Lebih Luas Untuk Kepentingan Pendidikan
Sesuai denga tri pusat pendidikan,
masyarakat ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu,gru
juga harus membina hubungan baik dengan masyarakat, agar dapat menjalankan
tugasnya sebagai pelaksana proses belajar mengajar. Dalam hal ini mengandung
dua dimensi penglihatan, yakni masyarakat disekitar sekolah, bagi guru sangat penting untuk selalu
memelihara hubungan baik, Karena guru akan mendapat masukan, pengalaman serta
memahami berbagai kejadian atau perkembangan masyarakat itu. Hal ini dapat
dimanfaatkan sebagai usaha pengembangan sumber belajar yang lebih mengena demi
kelancaran proses belajar mengajar. Sebagai contoh guru yang sedang menerangkan
sesuatu pelajaran, kemudian untuk memperjelas dapat diberikan ilustrasi dengan
beberapa perkembanganyang terjadi di masyarakat sekitar. Di samping itu jika
sekolah mengadakn berbagai kegiatan, sanagt memerlukan kemudahan dari
masyarakat sekitar. Selanjutnya jika dilihat dari masyarakat secara luas,
kererikan atau hubungan baik guru dengan masyarakat luas itu akan mengembangkan
pengetahuan guru tentang persepsi kemasyarakatan yang lebih luas. Misalnya tentang
budaya masyarakat dan bagaimana masyarakat
sebagai pemakai lulusan.
6. Guru Secara Sendiri Atau
Bersama-sama Berusaha Mengembangkan Dan Meningkatkan Mutu Profesinya
Dalam rangka meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat, guru harus selalu meningkatkan mutu profesinya, baik
dilaksanakan secara perseorangan ataupun secara bersama-sama. Hal ini sangat
penting, karena baik buruknya layanan kan mempengaruhi vitra guru ditenga-tengan
masyarakat. Adapun cara-cara meningkatkan mutu profesi guru dapat dilakukan
sebagai berikut; (1) secara sendiri-sendiri, yaitu dengan jalan, menekuni dan
mempelajari secaa kontinu pengetahuan-pengetahuan yang berhubunga dengan teknik
atau proses belajar-mengajar secara umum, misalnya pengetahuan-pengetahuan
tentang PBM (Proses Belajar Mengajar), ilmu-ilmu lain yang relevan dengan tugas
keguruanya, mendalami spesialisasi bidang studi yang diajarkan, melakukan
kegiatan-kegiatan mandiri yang relevan denga tugas keprofesiannya, mengembangkan
materi dan metodologi yang sesuai denga kebutuhan pengajaran, melakukan
supervisi dialog dan konsultasi denga guru-guru yang sudah lebih senior, (2) secara
bersama-sama,dapat dilakukan misalnya dengan: mengikuti berbagai bentuk
penataran dan lokakarya, mengikuti program pembinaan keprofesian secara khusus,
misalnya program akta ataupun reedukasi bagi yang merasa belum memenuhi
kompetensinya, mengadakan kegiatan diskusi dan salig tukar pikiran dengan teman
sejawata terutama yang berkaitan dengan peningkatan mutu profesi.
7.
Guru
Menciptakan Dan Memelihara Hubungan Antarsesama Guru Baik Berdasarkan
Lingkungan Kerja Maupun Didalam Hubungan Keseluruhan
Kerja sama dan pembinaan hubungan
antar guru di lingkungan tempat kerja, merupakan usaha yang sangat penting.
Sebab dengan pembinaan kerja sama antar guru di suatu lingkungan kerja akan
dapat meningkatkan kelancaran mekanisme kerja, bahkan juga sebagai
langkah-langkah peningkatan mutu profesi guru secara kelompok. Bergayut dengan
ini guru juga perlu membina hubungan dengan sesama guru secara keseluruhan,
termasuk guru-guru di luar lingkungan tempat kerja. Hal ini dapat memberi
masukan dan menambah pengalaman masing-masing guru, karena mungkin perkembangan
di suatu daerah berbeda dengan perkembangan daerah yang lain (study komperasi).
8.
Guru
Secara Bersama-sama Memelihara, Membina Dan Meningkatkan Mutu Organisasi Guru
Professional Sebagai Sarana Pengabdiannya
Salah satu ciri profesi adalah
dimilikinya organisasi professional.Begitu juga guru sebagai tenaga
professional kependidikan, juga memiliki organisasi professional.Di Indonesia
wadah atau organisasi professional itu adalah PGRI, atau juga ISPI.Untuk
meningkatkan pelayanan dan sarana pengabdiannya organisasi itu harus tetap dipelihara,
dibina bahkan ditingkatkan mutu dan kekompakkan. Sebab denga peningkatan mutu
organisasi berarti akan mampu merencanakan dan melaksanakan program yang
bermutu dan yang sesuai denga kebutuhan masyarakat.
Karena itu organisasi PGRI dan ISPI
harus lebih ditingkatkan dan perlu setiap kali mengadakan pertemuan antarpara
guru di berbagai daerah atau mungkin secaraa nasional.Dalam pertemuan itu
dibicarakan berbagi program yang bermanfaat, terutam bagaimana upaya
meningkatkan mutu organnisasi tersebut.Peningkatan mutu organisasi professional
itu, di samping untuk melindungi kepentingan anggota (para guru) juga sebagai
wadah kegiatan pembinaan dan peningkatan mutu profesionalisme guru.
9.
Guru
Melaksanakan Segala Ketentuan Yang Merupakan Kebijaksanaan Pemerintah Dalam
Bidang Pendidikan
Guru adalah bagian warga negara dan warga nasyarakat yang merupakan aparat
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Atau aparat pemerintah di
bidang pendidikan.Pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pengelola
bidang pendidikan sudah pasti memiliki ketentuan-ketentuan yang merupakan
policy, agar pelaksanaan dapat terarah.
Guru sebagai aparat Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dan pelaksanaan langsung kurikulum dan proses
belajar-mengajar, harus memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan oleh pemerintah mengenai bagaimana menangani
persoalan-persoalan pendidikan. Dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan itu, diharapkan proses pendidikan berjalan lancer sehingga
bisa menopang pelaksanaan pembangunan bangsa secara integral.
Tetapi harus diingat bahwa
kebijaksanaan atau ketentuan-ketentuan pemerintah itu biasanya bersifat umum. Oleh
karena itu guru sebagai pelaksana yang paling operasional harus memahami secara
cermat dan kritis serta mengembangkannya secara rasional dan kreatif yang
akhirnya dapat mendukung policy pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
tersebut. Untuk mengarahkan kepada maksud-maksud sebagaiman disebutkan diatas,
maka perlu dilakukan hal-hal antara lain sebagai berikut; (1) guru harus
memahami betul-betul maksud dan arah kebikjasanaan pendidikan nasional, agar
dapat mengambil langkah-langkah secara tepat, (2) guru harus terus-menerus
meningkatkan profesi dan kesadaran guru untuk memenuhi hakikat keprofesiannya,(3)
dilkuakn penilaian, pengawasan dan sanksi yang objektif dan rasional, pemimpin
lembaga-lembaga pendidikan harus bersifat terbuka, dalam upaya menerjemahkan
setiap ketentuan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (4) guru yang semata-mata
sebagai kiat dan pelaksana pemerintah di bidang kurikulum dan proses
belajar-mengajar, perlu netral, tidak memihak pada golongan politik apa pun,
(5) dalam melaksanakan kebijakan pemerintah (Departemen Pendidika dan
Kebudayaan), yang berkenaan dengan pembaruan di bidang pendidikan, perlu
diupayakan kerja sama antara pemrintah dan organisasi professional guru (PGRI)
dan juga dengan ISPI.
Dengan memahami sembilan butir kode
etik guru seperti diuraikan di atas, diharapka guru mampu berperan secara aktif
dalam upaya memberikan motivasi kepada subjek belajar yang dihadapi oleh anak
didik/subjek belajar berarti akan dapat dipecahkan atas bimbingan guru dan
kemampuan serta kegairahan mereka sendiri. Dengan demikian, kegiatan
belajar-mengajar akan berjalan degan baik, sehingga hasilnya optimal.
2.3 Organisasi Profesional
Keguruan
2.3.1 Fungsi dan
Tujuan Organisasi Profesional Keguruan
Seperti yang telah disebutkan dalam
salah satu kriteria jabatan professional, jabatn profesi harus mempunyai wadah
untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan keseluruhan profesi, yakni
organisasi profesi. Bagi guru-guru dinegara kita, wadah ini telah ada yakni
Persatuan Guru Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI.
PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 November 1945, sebagai perwujudan
aspirasi guru Indonesia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa (Hermawan
S., 1989). Salah satu tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap,
mutu dan kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan mereka
(Basuni,1986). Selanjutnya, Basuni menguraikan empat misi utama PGRI, yakni:
(a) Misi politis/ideology, (b) Misi persatuan organisatoris, (c) Misi profesi,
dan (d) Misi kesejahteraan.
Dalam kaitannya dengan pengembangan
professional guru, PGRI sampai saat ini masih mengandalkan pihak pemerintah,
misalnya dalam merencanakan dan melakukan program-program penataran guru
serta program peningkatan mutu lainnya. PGRI belum banyak merencanakan dan
melakukan program atau kegiatan yang berkaitan dengan perbaiakan cara mengajar,
peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru, peningkatan kualifikasi guru,
atau melakukan penelitian ilmiah tentang masalah-masalah professional yang dihadapi
oleh para guru dewasa ini.
Kebanyakan kegiatan yang berkaitan dengan
peningkatan mutu profesi biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan
peringatan ulang tahun atau kongres, baik di pusat maupun di daerah (Sanusi et
al., 1991). Oleh sebab itu, peranan organisasi ini dalam peningkatan mutu
professional keguruan belum begitu menonjol.
2.3.1.1 Fungsi dari Organisasi Profesi Keguruan
Adapun fungsi dari
organisasi profesi keguruan adlah;
1.
Fungsi Pemersatu
Yaitu dorongan yang menggerakkan para profesional untuk membentuk suatu
organisasi keprofesian. Motif tersebut begitu bervariasi, ada yang bersifat
sosial, politik ekonomi, kultural, dan falsafah tentang sistem nilai. Namun
umunya dilatarbelakangi oleh dua motif, yaitu Motif intrinsik dan ekstrinsik. Secara Intrinsik, para profesional
terdorong oleh keinginannya mendapat kehidupan yang layak, sesuai dengan tugas
profesi yang diembannya. Bahkan mungkin mereka terdorong untuk menjalankan
tugasnya sebaik mungkin. Secara
Ekstrinsik mereka terdorong oleh tuntutan masyarakat pengguna jasa suatu
profesi yang semakin hari semakin kompleks.
Kedua motif tersebut sekaligus tantangan bagi pengembangan profesi. Namun
kesadaran inilah yang menyebabkan para professional membentuk organisasi
profesi. Dan dengan demikian organisasi tersebut dapat dijadikan pemersatu
antar profesi, yang diharapkan organisasi kependidikan memiliki kewibawaan dan
kekuatan dalam menentukan kebijakan dan melakukan tindakan bersama yaitu ipaya
melindungi dan memperjuangkan kepentingan para pengemban profesi kependidikan
itu sendiri dan kepentingan masyarakat pengguna jasa profesi.
2.
Fungsi Peningkatan Kemampuan
Profesional
Fungsi kedua dari organisasi kependidikan adalah meningkatkan
kemampuan profesional pengemban profesi kependidikan ini. Fungsi ini
secara jelas tertuang dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 yang berbunyi: “Tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan
profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan mengembangkan karier, kemampuan,
kewenangan profesional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan”.
Bahkan dalam UUSPN tahun 1989, pasal 31 ; ayat 4 dinyatakan bahwa : “Tenaga kependidikan berkewajiban untuk
berusaha mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan perkembangan
tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa”.
Kemampuan yang dimaksud adalah apa yang disebut dengan istilah kompetensi.
Kompetensi merupakan kecakapan atau kemampuan mengerjakan kependidikan. Menurut
Johnson kompetensi dibangun oleh 6 perangkat kompetensi, yaitu; (1) Performence
Component,(2) Subject Component, (3) Professional Component,
(4) Process Component, (5) Adjustment
Component, (6) Attidudes Component.
Peningkatan kemampuan professional
juga terkait dengan Kurikulum 1994
dapat dilakukan melalui dua program, yaitu Program
Terstruktur adalah program yang dibuat dan dilaksanakan sedemikian rupa,
mempunyai bahan dan produk kegiatan belajar yang dapat diakreditasikan secara
akademik dalam jumlah SKS tertentu. Sedangkan Program Tidak Terstruktur adalah program pembinaan dan
pengembanganztenaga kependidikan yang dibuka berdasarkan kebutuhan tertentu
sesuai dengan tuntutan waktu dan lingkungan yang ada. Terlingkup dalam program
tidak terstruktur ini adalah ; (1) penataran tingkat nasional dan wilayah,
(2) supervisi yang dilaksanakan oleh pejabat terkait, (3) pembinaan dan
pengembangan sejawat, (4) pembinaan dan pengembangan individual.
2.3.1.2 Tujuan Organisasi Profesi Keguruan
Organissi profesi sebagaimana telah disebutkan dalam UU RI pasal 40 ayat
1 mempunyi tujuan untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, krir,
wawasan pendidikan, perlindungan profesi, kesejahteran, dan pengabdian dalam
masyarakat.Sebagaimana dijelaskan dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61, ada
lima misi dan tujuan organisasi kependidikan, yaitu : meningkatkan dan/atau
mengembangkan. Sedangkan visinya secara umum ialah terwujudnya tenaga
kependidikan yang profesional.
1.
Meningkatkan dan atau Menngembangkan
Karier Anggota
Merupakan
upaya organisasi profesi kependidikan dalam mengembangkan karier anggota sesuai
dengan bidang pekerjaan yang diembannya. Karier yang di maksud adalah
perwujudan diri seorang pengemban profesi secara psikofisis yang bermakna, baik
bagi dirinya sendiri maupuin bagi oran lain (lingkungannya) melalui serangkaian aktifitas.
2.
Meningkatkan dan atau Mengembangkan Kemampuan Anggota
Merupakan
upaya terwujudnya kompetensi kependidikan yang handal dalam diri tenaga kependidikan
atau guru, yang mencakup: performance component, subject component,
profesional component. Dengan kekuatan dan kewibawaan organisasi, para
pengemban profesi kependidikan/keguruan akan memiliki kekuatan moral untuk
senantiasa meningkatkan kemampuannya, baik melalui program terstruktur maupun
program tidak terstruktur.
3.
Meningkatkan
dan Mengembangkan Kewenangan Profesinal Anggota
Merupakan upaya paraprofesional untuk menempatkan anggota suatu profesi
sesuai dengan kemampuannya. Proses ini tidak lain dari proses spesifikasi
pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, kecuali oleh ahlinya
yang telah mengikuti proses pendidikan tertentu dan dalam waktu tertentu yang
relatif lama. Umpamanya, keahlian guru pembimbing dalam bimbinghan karier,
pribadi atau sosial, dan bimbingan belajar.
4.
Meningkatkan dan atau Mengembangkan Martabat Anggota
Merupakan upaya organisasi profesi kependidikan agar
anggotanya terhindar dari perlakuan tidak manusiawi dari pihak lain, dan tidak
melakukan praktik yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. Ini dapat dilakukan
karena saat seorang profesional menjadi anggota organisasi suatu profesi, pada
saat itu pula terikat oleh kode etik profesi sebagai pedoman perilaku anggota
profesi itu. Dengan memasuki organisasi profesi akan terlindung dari perlakuan
masyarakat yang tidak mengindahkan martabat kemanusiaan dan berupaya memberikan
pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan standar etis yang telah disepakati.
5.
Meningkatkan dan Mengembangkan Kesejahteraan
Merupakan
upaya organisasi profesi kependidikan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir
batin anggotanya. Dalam poin ini tercakup juga upaya untuk menjaga dan
meningkatkan kesehatan anggotanya. Tidak disangsikan lagi bahwa tuntutan
kesejahteraan ini merupakan prioritas utama. Karena selain masalah ini ada
kaitannya dengan kelangsungan hidup, juga merupakan dasar bagi tercapainya peningkatan
dan pengembangan aspek lainnya. Dalam teori kebutuhan maslow, kesejahteraan ini
mungkin menempati urutan pertama berupa kebutuhan fisiologis yang harus segera
dipenuhi.
2.3.2 Jenis-jenis
Organisasi Keguruan
Di samping PGRI sebagai satu-satunya
organisai guru-guru sekolah yang diakui pemerintah sampai saat ini, ada
organisasi guru yang disebut Musyawarah Guru Muda Pelajaran (MGMP) sejenis yang
didirikan atas anjuran pejabat-pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan professional dari guru
dalam kelompoknya masing-masing. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini diatur
dengan jadwal yang cukup baik. Sayangnya, belum ada keterkaiatan sdan hubungan
formal antara kelompok guru-guru dalam MGMP ini dengan PGRI.
Selain PGRI, ada lagi organisasi
professional resmi di bidang pendidikan yang harus kita ketahui yakni Ikatan Sarjana
Pendidikan Indonesia (ISPI), yang saat ini telah mempunyai divisi-divisi antara
lain: Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), Himpunan Sarjana Administrasi
Pendidikan Indonesia (HISAPIN), Himpunan Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia
(HSPBI), dan lain-lain. Hubungan formal antara organisasi-organisasi ini dengan
PGRI masih belum tampak secara nyata, sehingga belum didapatkan kerja sama yang
saling menunjang dan menguntungkan dalam peningkatan mutu anggotanya. Sebagian
anggota PGRI yang sarjana mungkin juga anggota salah satu divisi dari ISPI,
tetapi tidak banyak anggota ISPI staf pengajar LPTK yang juga menjadi anggota
PGRI.
BAB III
TANGGAPAN DAN SIMPULAN
3.1 Tanggapan
Guru merupakan sebuah profesi, guru
merupakan ibu dari lahirnya berbagai profesi seperti dokter, tentara, notaris
dan lain-lain. Bagaimana tidak?, ibarat rumah guru menjadi pondasi utama
berdirinya sebuah rumah disamping bimbingan dari orang tua, guru memberikan
penguatan, motivasi, dan wawasan luas tentang pengetahuan. Sehingga guru
harus mempunyai wawasan intelektual, mementingkan layanan diatas keuntungan
pribadi, dan juga harus mempunyai akhlak yang terpuji yang dapat dijadikan
sebagai panutan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus bersikap professional
dalam bekerja sesuai profesinya, untuk melayani masyarakat dalam dunia
pendidikan dalam rangka memajukan masyarakat itu sendiri, bangsa dan Negara.
Dalam sebuah
profesi kependidikan, guru harus bertindak mengajak siswa lebih aktif dalam
proses pembelajaran. Ini karena profesi seorang guru ditekankan untuk lebih
profesional. Sehingga kemampuan mengajar guru tidak lagi diragukan dan ini akan
membentuk peserta didik yang berkualitas.
Kita sebagai calon pendidik atau
guru, yang mana dapat diartikan bahwa guru adalah pendidikan profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang
pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Guru juga merupakan sebuah
profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang
menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di
lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu.
Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian
berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan
keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya
terletak profesionalisme. Menyadari akan profesi merupakan
wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam
keberhasilan pendidikan maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar
akan peran dan fungsinya sebagai pendidik.
3.2. Simpulan
Berdasarkan kajian teoritik yang
tetah dipaparkan pada bab pembahasan, baik tanggapan individu maupun kelompok
maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua pekerjaan bisa dikatakan profesi,
karena profesi memiliki 10 kriteria yang harus dipenuhi menurut Sanusi et al.
(1991). Untuk profesi kependidikan pada mula perkembangannya masih belum dapat
dikatakan sebagai profesi, hal tersebut dipaparkan dalam buku Sejarah
Pendidikan Indonesia, Nasution (1987). Kemudian keadaan terus berkembang, guru
mulai meningkatkan kualifikasi dan mutunya hingga mempunyai lempaga pendidikan
yakni LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), dan di Indonesia telah ada
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) untuk mewadai persatuan guru. Selain
itu juga ada organisasi lain yaitu MGMP (Musyawarah Guru Muda Pelajaran) dan ISPI
(Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) sebagai organisasi kependidikan.
Rencana- rencana yang cukup menunjang
dalam profesi keguruan seperti kode etik kependidikan yang selalu diperbaharui
demi tercuptanya guru profesional
DAFTAR PUSTAKA
Udin Syafruddin Saud. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta
Soetjipto dan Raflis Kosasih. 2004. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.
Meta. 2013. Profesi
Kependidikan. http://likayunia.wordpress.com/2013/04/21/profesi-kependidikan/. Diakses pada hari Jumat 28 Januari
2014, pukul 13.00 WIB.
Gahari, Rizkia. 2012.
Syarat dan Karakteristik Profesi. http://rizkia-gahari.blogspot.com/2012/01/syarat-dan-karakteristik-profesi.html. Diakses pada hari jumat tanggal 28
januari 2014 pukul 13.05 WIB.
Musya, Yumi. 2011. Karakteristik dan Syarat- Syarat Profesi. http://yunimusya.wordpress.com/2011/01/12/karakteristik-dan-syarat-profesi/. Diakses pada hari jumat tanggal 28
januari 2014 pukul 13.07 WIB.
Jawa, Mujiman. 2012.
Makalah Profesi Keguruan dan Kode Etik.
http://mujimanjawa.blogspot.com/2012/04/makalah-profesi-keguruan-dan-kode-etik.html?m=1.
Diakses pada hari jumat tanggal 28 januari 2014 pukul 13.09 WIB.
Komentar
Posting Komentar