Langsung ke konten utama

Konsep Profesi Keguruan (Profesi Kependidikan Subject)




BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan zaman dan tekhnologi, masih saja bermunculan permasalahan yang cukup rumit. Salah satu permasalahan yang cukup menonjol dan perlunya sorotan tajam bagi para masyarakat adalah mengenai profesi kependidikan di Indonesia. Pendidikan di Indonesia sendiripun dihadapkan dengan beberapa permasalahan yang signifikan. Dalam Term of Reference EADC 2010 dengan Tema “Cerdas Indonesiaku” memaparkan bahwa  rendahnya kualitas guru di Indonesia merupakan rangkaian dari rantai masalah pendidikan di Indonesia yang harus diberantas hingga ke akarnya. Hal ini berkaitan dengan peran guru yang merupakan komponen penting dalam dunia pendidikan yang berada di barisan terdepan. Khalayak masyarakat masih saja meperdebatkan mengenai ketidakperluannya seorang guru yang memiliki sertifikasi profesional sebagai guru yang kompeten dan memumpuni dalam profesi kependidikannya. Padahal jelas adanya, telah disebutkan bahwasanya guru ialah kalangan profesional kependidikan yang sudah menuntut pendidikan sekolah tinggi, dan memiliki status sebagai sarjana strata satu dengan keahlian, pengetahuan, pengalaman mengajar, serta keprofesionalannya memang sudah tidak diragukan lagi.
Kualitas guru kita, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Banyak guru , khususnya di jenjang sekolah dasar masih saja memegang seluruh pelajaran dalam satu kelas. Lain pula kasusu, maasih banyak guru- guru yang berlisensi profesional dengan pemahaman keprofesionalan pendidikan itu sendiri. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.
Untuk mendapat input guru yang berkualitas dalam rekruitmen perlu diadakannya sosialisasi di sekolah menengah atas (SMA) sederajat mengenai persyaratan menjadi guru profesional yang tidak hanya memiliki ijazah S1, melainkan memiliki keahlian keguruan, tanggung jawab, pengetahuan serta kemampuan untuk mengajar dan menjadikan guru yang berbobot.
Selain permasalahan di atas yang cukup rumit, masalah mendasarnya berakar pada ketidak tahuannya para guru/ calon guru mengenai profesi kependidikan itu sendiri, pengertian dasar dalam sebuah profesi, syarat – syarat suatu pekerjaan yang bisa disebut dengan sebuah profesi,  kode etik keguruan itu sendiri, serta organisasi profesional keguruan yang diakui eksistensinya oleh pemerintah dan dunia kependidikan di Indonesia.
Berangkat dari masalah di atas, penulis mencoba mengangkat permasalahan di atas ke dalam makalah Profesi Kependidikan, mengenai Konsep Profesi Kependidikan dengan submateri yaitu; (a) pengertian dan syarat- syarat profesi, (b) Kode Etik Profesi Keguruan, (c) dan organisasi profesional keguruan sehingga khususnya bagi para penulis dan masyarakat mampu membuka pikiran bahwa keprofesionalan harus tertanam kuat pada diri kita karena sudah selayaknya guru mempunyai kompetensi serta tanggung jawab yang tinggi dalam menjalankan profesinya, sehingga nasib pendidikan di Indonesia akan berubah kearah yang lebih baik dan bermartabat.

1.2    Tujuan Penulisan
1.2.1   Tujuan Teoritik
Dengan penulisan makalah ini, bertujuan melatih penulis untuk mengembangkan konsep profesi kependidikan dan memahami;
1.        Pengertian dan syarat- syarat profesi,
2.        Kode etik profesi keguruan dan,
3.        Organisasi profesional keguruan.

1.2.2        1.2.2.Tujuan Empirik
Tujuan ini berhubungan dengan tentang penambahan wawasan  dan pengetahuan penulis yang berkaitan erat dengan konsep profesi kependidikan dalam mata kuliah  Profesi Pendidikan, sebagai salah satu dari syarat untuk mengikuti dan memelajari mata kuliah Profesi Pendidikan semester empat, program studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan, Universitas Muhammadiyah Metro.

1.3   Sistematika Penulisan Makalah
Dalam rangka pengumpulan data dan serta informasi tentang materi dalam makalah ini, kami menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:

13.1 Bab I pendahuluan; menguraikan tentang latar belakang makalah, tujuan makalah dan sistematika makalah. Latar belakang makalah menmaparkan tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan profesi kependidikan (guru) saat ini di indonesia dan bagaimana perkembangannya, sedangkan tujuan makalah berisi tujuan yang ingin dicapai dari pembuatan makalah itu sendiri.

13.2 Bab II pembahasan, dalam pembahasan ini memaparkan teori-teori atau kajian yang berkaitan dengan konsep profesi kependidikan, pengertian dan syarat-syarat profesi, kode etik profesi keguruan, dan organisasi professional keguruan yang mencakup tentang pengertian profesi, pengertian dan syarat-syarat profesi keguruan, perkembangan profesi keguruan, pengertian kode etik, tujuan kode etik, penetapan kode etik, sanksi pelaggaran kode etik, kode etik guru Indonesia, fungsi organisasi professional keguruan dan jenis-jenis organisasi keguruan.

13.3 Bab III tanggapan dan simpulan, pada pokok bahasan tanggapan menguraikan tentang tanggapan yang bersifat individual maupuan kelompok, sedangkan simpulan ditulis dalam berisi satu ikatan dari materi yang di bahas pada bab 2 yaitu pembahasan.

13.4 Daftar Pustaka
13.5 Lampiran



BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP PROFESI KEGURUAN


2.1       Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi
Masyarakat Indonesia banyak mengatakan bahwasanya profesi adalah pekerjaan yang dilakukan dengan hanya keahlian profesionalnya. Padahal lebih dari itu, profesional memiliki cakupan yang cukup luas, seperti dalam kemampuan ( skill) , tanggung jawab, serta pengelolaan kesejawatan serta perlunya profesionalitas yng berlisensi.

2.1.1    Pengertian Profesi
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, pendidikan, keuangan, militer, dan teknik.
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.
          Pada umumnya orang memberi arti yang sempit teradap pengertian profesional. Profesional sering diartikan sebagai suatu keterampilan teknis yang dimilki seseorang. Misalnya seorang guru dikatakan guru profesional bila guru tersebut memiliki kualitas megajar yang tinggi. Padahal pengertian profesional tidak sesempit itu, namun pengertiannya harus dapat dipandang dari tiga dimensi, yaitu : expert [ahli], responsibility [rasa tanggung jawab] baik tanggung jawab intelektual maupun moral, dan memiliki rasa kesejawatan.
          Pengertian profesi secara leksikal ialah perkataan profesi itu ternyata mengandung berbagai makna dan pengertian. Pertama profesi itu menunjukkan dan mengungkapkan suatu kepercayaan (to profess means to  trust), bahkan suatu keyakinan (to belief in) atas suatu kebenaran (ajaran agama) atau kredibilitas seseorang (Hornby,1962). Kedua, profesi itu dapat pula menunjukkan dan mengungkapkan suatu pekerjaan atau urusan tertentu (a particular business, Hornby, 1962 dalam Pengembangan Profesi Guru, Udin Syafrudin, 2009: 3 ).
Webster’s New World Dictionary menunjukkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut pendidikan tinggi (kepada pengembannya) dalam liberal arts atau science, dan biasanya meliputi pekerjaan mental dan bukan pekerjaan manual, seperti mengajar , keinsinyuran, mengarang, dan sebagainya; terutama kedokteran, hukum dan teknologi.
Good’s Dictionary of Education mengungkapkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang meminta persiapan specialisasi yang relatif  lama di perguruan tinggi (pada  pengembannya) dan diatur oleh suatu kode etika khusus.
Vollmer (1956) dalam Pengembangan Profesi Guru, Udin Syafrudin, 2009: 5 menjelaskan pendekatan kajian sosiologik, mempersepsikan bahwa profesi itu sesungguhnya hanyalah merupakan suatu jenis model atau tipe pekerjaan ideal saja, karena dalam realitasnya bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkannya. Namun demikian, bukanlah merupakan hal yang mustahil pula untuk mencapainya asalkan ada upaya yang sungguh-sungguh kepada pencapaiannya. Proses usaha menuju kearah terpenuhinya persyaratn suatu jenis model pekerjaan ideal itulah yang dimaksudkan dengan profesionalisasi.
          Bedasarkan pernyataan Vollmer yang mengimplikasikan bahwa pada dasarnya seluruh pekerjaan apapun memungkinkan untuk berkembang menuju kepada suatu jenis model profesi tertentu. Dengan mempergunakan perangkat persyaratannya sebagai acuan, maka kita dapat menandai sejauh mana suatu pekerjaan itu telah menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu atau seseorang pengemban pekerjaan tersebut juga telah memiliki dan menampilkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu pula yang dapat dipertanggungjawabkan secara professional (memadai persyaratan sebagai suatu profesi). Berdasarkan indikator-indikator tersebut maka selanjutnya kita dapat mempertimbangkan derajat profesionalitasnya (ukuran kadar keprofesiannya). Jika konsepsi keprofesian itu telah menjadi budaya, pandangan, paham, dan pedoman hidup seseorang atau sekelompok orang utau masyarakan tertentu, maka hal itu dapat mengandung makna telah tumbuh-kembang profesionalisme dikalangan orang atau masyarakat yang bersangkutan. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan yang kemudian berkembang makin matang.
          Selain itu, dalam bidang apapun profesionalisme seseorang ditunjang oleh tiga hal. Tanpa ketiga hal ini dimiliki, sulit seseorang mewujudkan profesionalismenya. Ketiga hal itu ialah keahlian, komitmen, dan keterampilan yang relefan yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang ditengahnya terletak profesionalisme. Ketiga hal itu pertama-tama dikembangkan melalui pendidikan pra-jabatan dan selanjutnya ditingkatkan melalui pengalaman dan pendidikan/latihan dalam jabatan. Karena keahliannya yang tinggi maka seorang professional dibayar tinggi. “ well educated, well trained, well paid” , adalah salah satu prinsip profesionalisme. Terdapat beberapa istilah yang berkaitan dengan profesi. Menurut Sanusi et.al ( 1991:19 ) dalam Pengembangan Profesi Guru, Udin Syafrudin, 2009: 6 menjelaskan ada 5 konsep mengenai hal tersebut:

1.        Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian para anggotanya. Artinya, ia tidak bias dilakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih dan tidak disiapkan secara khusus untuk melakukan pekerjaan itu. keahlian diperoleh melalui apa yang disebut profesionalisasi, yang dilakukan baik sebelum seseorang menjalani profesi itu ( pendidikan/latihan pra-jabatan) maupun setelah menjalani suatu profesi ( in-service training ). Diluar pengertian ini, ada beberapa ciri profesi khususnya yang berkaitan dengan profesi kependidikan.
2.        Professional menunjuk pada dua hal. Pertama orang yang menyandang suatu profesi, misalnya “ Dia seorang profesional”. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Pengertian kedua ini, professional dikontraskan dengan “ non-profesional” atau “ amatir”.
3.        Profesionalisme menunjuk kepada komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengembangkan strategi-strategi yang digunakannya dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
4.        Profesionalitas mengacu kepada sikap para anggota profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki dalam rangka melakukan pekerjaannya.
5.        Profesionalisasi menunjukkan pada proses peningkatan kualifikasi maupun kemampuan para anggota profesi dalam mencapai kriteria  yang standar dalam penampilannya sebagai anggota suatu profesi. Profesionalisasi pada dasarnya merupakan serangkaian proses pengembangan professional ( professional development) baik dilakukan melalui pendidikan/latihan “pra-jabatan” maupun “dalam-jabatan”. Oleh karena itu, profesionalisasi merupakan proses yang life-long dan never-ending, secepat seseorang telah menyatakan dirinya sebagai warga suatu profesi.
Dalam sumber lain, Soetjipto dan kawan kawan dalam buku Profesi Keguruan, pada halaman 14 sampai dengan 29, profesi diungkapkan oleh Ornstein dan Levine (dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan: 15) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesi dibawah ini:
a)        Melayani masyarakat, merupakan karier yang akan dilaksanakan sepnjang hayat ( tidak berganti-ganti pekerjaan).
b)        Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu diluar jangkauan khalayak ramai (tidak setiap orang dapat melakukannya).
c)        Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari  teori ke praktek (teori baru dikembangkan dari hasil penelitian).
d)       Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.
e)        Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).
f)         Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu (tidak diatur oleh orang luar).
g)        Menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.
h)        Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan terhadap layanan yang diberikan.
i)          Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya, relative bebas dari supervise dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi untuk mendata klien, sementara tidak ada supervise dari luar terhadap pekerjaan dokter sendiri).
j)          Mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesi sendiri.
k)        Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok ‘elit’ untuk mengetahui dan mengakui keberhasilian anggotanya (keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai oleh organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan oleh Departemen Kesehatan).
l)          Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan atau menyangsikan yang berhubungan dengan layanan yang diberikan.
m)      Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari public dan kepercayaan diri setiap anggotanya (anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).
n)        Mempunyai status social dan ekonomi yang tinggi bila disbanding dengan jabatan lainnya).
Tidak jauh berbeda dengan ciri diatas, sanusi et al. (1991), mengutarakan ciri-ciri utama suatu profesi itu sebagai berikut (dalam Soetjipto dan kawan kawan, Profesi Keguruan; 17),
a)         Suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikan social yang menentukan (crusial).
b)        Jabatan yang menuntut keterampilan/ keahlian tertentu.
c)        Keterampilan/keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori  dan metode ilmiah.
d)       Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas, sistematik, eksplisit, yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.
e)        Jabatan itu memerlukan pendidikan tingkat perguruan tinggi dengan waktu yang cukup lama.
f)         Profesi pendidikan untuk jabatan itu jga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai professional itu sendiri.
g)        Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikontrol oleh organsasi profesi.
h)        Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberikan judgement terhadap permasalahan profesi yang dihadapinya.
i)          Dalam prakteknya melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.
j)          Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi dalam masyarakat, dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.
Bila kita bandingkan kriteria yang dipakai sanisi et al. ini dengan kriteria Ornstein dan Levine yang dibicarakan lebih dahulu, dapat kita simpulkan bahwa keduanya hampir mirip, dan saling melengkapi, dan oleh karenanya dapat kita pakai sebagai pedoman dalam pembicaraan selanjutnya.
Kalau kita pakai acuan ini maka jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta tukang korang yang disebut pada bagian pertama jelas bukan profesi. Tetapi yang akan kita bicarakan selanjutnya adalah jabatan.

2.1.2    Karakteristik Profesi
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Lieberman (1956) (Udin Syaefudin, 2009:9), mengemukakan bahwa karakteristik profesi kalau dicermati secara seksama ternyata terdapat titik-titik persamaanya. Diantara pokok-pokok persamaannya itu ialah sebagai berikut:

1.         A unique, denifite, and essential servise
Profesi itu merupakan suatu jenis pelayanan atau pekerjaan yang unik (khas), dalam arti berbeda dari jenis pekerjaan atau pelayanan apapun yang lainnya. Disamping itu, profesi juga bersifat definitif dalam arti jelas batas-batas kawasan cakupan bidang garapannya (meskipun mungkin sampai batas dan derajat tertentu ada kontingensinya dengan bidang lainnya). Selanjutnya, profesi juga merupakan suatu pekerjaan atau pelayanan yang sangat penting, dalam arti hal itu amat dibutuhkan oleh pihak penerima jasa sementara pihaknya sendiri tidak memiliki pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan untuk melakukannya sendiri.

2.         An emphasis upon intellektual technique in performing ist service
Pelayanan itu amat menuntut kemampuan kinerja intellektual, yang berlainan dengan keterampilan atau pekerjaan manual semata-mata. Benar, kemampuan profesi juga terkadang mempergunakan peralatan manual dalam praktek pelayanannya, seperti seorang dokter bedah misalnya menggunakan pisau operasi, namun proses penggunaannya dibimbing oleh suatu teori dan wawasan intelektual.

3.         A long period of specialized training
Perolehan penguasaan dan pengetahuan intelektual (wawasan atau visi dan kemampuan atau kompetensi serta kemahiran atau skills) serta sikap profesional tersebut, seseorang akan memerlukan waktu yang sangat lama. Untuk mencapai kualifikasi keprofesian sempurna lazimnya tidak kurang dari lima tahun lamanya, ditambah dengan pengalaman praktek terbimbing hingga tercapainya suatu tingkat kemandirian secara penuh dalam menjalankan profesinya. Pendidikan keprosian termaksud lazimnya dilaksanakan pada jenjang pendidikan tinggi, dengan proses pemagangannya sampai batas waktu tertentu dalam bimbingan para seniornya.

4.         A broat range of autonomy for both the individual praktitioners ad the occupational group as a whole
Kinerja pelayanan itu demikian cermat secara teknis sehingga kelompok (asosiasi) profesi yang bersangkutan sudah memberikan jaminan bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukannya sendiri tugas pelayanan tersebut, apa yang seyogyanya dilakukan dan bagaimana menjalankannya, siapa yang seyogyanya meberikan izin dan lisensi untuk melaksanakan kinerja itu. Individu-individu dalam kerangka kelomok asosiasinya  pada dasarnya relatif bebas dari pengawasan, dan secara langsung mereka menangani prakteknya. Dalam hal menjumpai sesuatu kasus yang berbeda diluar kemampuannya, mereka membuat rujukan (referral) kepada orang lain dipandang lebih berwenang, atau membawanya kedalam suatu panel atau konferensi kasus ( case converense).

5.         An acceptance by the practitioners of broad personal responsibility for judgments made and act performed within the scope of professional autonomy
Konsekuensi dari otonomi yang dilimpahkan kedapa seorang tenaga praktisi profesional itu, maka berarti pula ia memikul tanggung jawab pribadinya harus secara penuh. Apapun yang terjadi, seperti dokter keliru melakukan diagnosis atau memberikan perlakuan terhadap pasiennya atau seorang guru yang keliru menangani permasalahan siswanya, maka kesemuanya itu harus dipertanggungjawabkannya, serta tidak selayaknya mnudingkan atau melemparkan kekeliruannya kepada pihak lain.

6.         An emphasis upon the service to be rendered, rather than the economic gain to the practitioners, as the basis for the organization and performance of the social service delegated to the occupational group
Mengingat pelayanan profesional itu merupakan hal yang amat esensial (dipandang dari pihak masyarakat yang memerlukannya) maka hendaknya kinerja pelayanan tersebut lebih mengutamakan kepentingan  pelayanan pemenuhan kebutuhan tersebut, ketimbang untuk kepentingan perolehan imbalan ekonomis yang akan diterimanya. Hal itu bukan berarti pelayanan profesional tidak boleh memperoleh imbalan yang selayaknya. Bahkan seandainya kondisi dan situasi menuntut atsu memanggilnya, seorang profesional itu hendaknya bersedia memberikan pelayanan tanpa imbalan sekalipun.

7.      A conpehensive self-gouverning organization of practitioner
Mengingat pelayanan itu sangat teknis sifatnya, maka masyarakat menyadari bahwa pelayanan semacam itu hanya mungkin dilakukan penanganannya oleh mereka yang kompeten saja. Karena masyarakat awam yang kompeten yang bersangkutan, makakelompok(asosiasi) para praktisi itu sendiri satu-satunya institusi yang seyogyanya menjalankan peranan yang ekstra, dalam arti menjadi polisi atau dirinya sendiri, iyalah mengadaksn pengendalian atas anggotanya mulai saat penerimaannya dan memberikan sanksinya bilamana diperlukan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kode etikanya.

8.         A code of ethics which has been clarified and interpreted at ambiguous and doubtful points by concrete cases
Otonomi yang dimiliki dan dinikmati oleh organisasi profesi dengan para anggotanya seyogyanya disertai kesadaran dan iktikad yang tulus baik pada organisasi maupun pada individual anggotanya untuk memonitor perilakunya sendiri. Mengingat organisasi dan sekaligus juga anggotanya harus menjadi polisi atas dirinya sendiri maka hendaknya mereka bertindak sesuai dengan kewajiban dan tuntunan moralnya baik terhadapklien maupun masyarakatnya. Atas dasar itu, adanya suatu perangkat kode etika yang telah disepakati bersama oleh yang bersangkutan seyogyanya membimbing hati nuraninya dan mempedomani segala tingkah lakunya.
Dari keterangan tersebut, maka pada intinya bahwa sesuatu pekerjaan itu dapat dipandang sebagai suatu profesi apabila minimal telah memadai hal – hal sebagai berikut.
1)        Memiliki cakupan ranah kawasan pekerjaan atau layanan khas, definitif dan sangat penting dan dibutuhkan masyarakat.
2)        Para pengemban tugas pekerjaan atau pelayanan tersebut telah memiliki wawasan, pemahaman dan penguasaan pengetahuan serta perangkat teoritisyang relevan secara las dan mendalam; menguasai perangkat kemahiran teknis kinerja pelayanan memadai persyaratan standarnya; memiliukiu sikap profesi dan semangat pengabdian yang positif dan tinggi; serta kepribadian yang mantap dan mandiri dalam menunaikan tugas yang diembannya dengan selalu mempedomani dan mengindahkankode etika yang digariskan institusi (organisasi) profesinya.
3)        Memiliki sistem pendidikan yang mantap dan mapan berdasarkan ketentuan persyaratan standarnya bagi penyiapan (preservice) maupun pengembangan (inservice, continuing, development) tenaga pengemban tugas pekerjaan profesional yang bersangkutan; ang lazimnya diselenggarakan pada jenjangpendidikan tinggi berikut lembaga lain dan organisas profesinya yang bersangkutan.
4)        Memiliki perangkat kode etik profesional yang telah disepakati dan selalu dipatuhi serta dipedomani para anggota pengemban tugas pekerjaan atau pelayanan profesional yang bersangkutan. Kode etik profesional dikembangkan, ditetapkan dan diberdayakan kefektivannya oleh organisasi profesi yang bersangkutan.
5)        Memiliki organisasi profesi yang menghimpun, membina dan mengembangkan kemampuan profesional, melindungi kepentingan profesional serta memajukan kesejahteraan angotanya dengan senantiasa mengindahkan kode etikanya dan ketentuan orgaisasinya.
6)        Memiliki jurnal dan sarana publikasi profesional lainnya yang menyajikan berbagai karya penelitian dan kegiatan ilmiah sebagai media pembinaan dan pengembangan para anggtanya serta pengabdian kepada masyarakat dan khazanah ilmu pengetahuan yang menopang profesinya.
7)        Memperoleh pengakuan dan penghargaan yang selayaknya baik secara sosial (dari masyarakat) dan secara legal (dari pemerintah yang bersangkutan atas keberadaan dan kemanfaatan profesi tersebut).

2.1.3    Pengertian dan Syarat-Syarat Profesi Kependidikan

Sebelum membahas mengenai pengertian dan syarat- syarta profesi kependidikan, ada baiknya, mengetahui terlebih dahulu mengenai syarat- syarat profesi secara umum. Robert W. Richey (Arikunto, 1990:235 dalam Udin Syaeffudin Saud, Pengembangan Profesi Guru: 15) mengemukakan ciri – ciri dan syarat – syarat profesi sebagai berikut.
1.         Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
2.         Seorang pekerja profesional, secara aktif memerlukan waktu yang panjang untuk mempelajari konsep – konsep serta prinsip – prinsip pengetahuan khusus yang mendukung keahliannya.
3.         Memiliki kualifikasi tertentu untuk memasuki profesi tersebut serta mampu mengikuti perkembangan dalam pertumbuhan jabatan. 
4.         Memiliki kode etik yang mengatur keanggotaan, tingkah laku, sikap dan cara kerja.
5.         Membutuhkan suatu kegiatan intelektual yang tinggi.
6.         Adanya organisasi yang dapat meningkatkan standar pelayanan, disiplin diri dalam profesi serta kesejahteraan anggotanya.
7.         Memberikan kesempatan untuk kemajuan, spesialisasi, dan kemandirian.
8.         Memandang profesi suatu karier hidup (alive career) dan menjadi seorang anggota yang permanen.

Khusus untuk jabatan guru, sebenarnya juga sudah ada yang mencoba menyusun kriterianya. Misalnya Nasional Education Asociation (NEA) (Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan:18 ) menyarankan criteria berikut :
a)                  Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.
b)                  Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.
c)                  Jabatan yang memerlukan persiapan professional yang lama (bandingkan dengan pekerjaan yang memerlukan latihan umum belaka).
d)                 Jabatan yang memerlukan “latihan dalam jabatan” yang berkesinambungan.
e)                  Jabatan yang menjanjikan karier hidup dan keanggotaan yang permanen.
f)                   Jabatan yang menentukan baku (standarnya) sendiri.
g)                  Jabatan yang lebih mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi.
h)                  Jabatan yang mempunyai organisasi professional yang kuat dan terjalin erat.
Sekarang yang menjadi pertanyaan lebih lanjut adalah apakah semua kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan mengajar atau oleh guru? Mari kita lihat satu persatu.

a)                   Jabatan yang Melibatkan Kegiatan Intelektual
Jelas sekali bahwa jabatan guru memenuhi kriteria ini, karena mengajar melibatkan upaya-upaya yang sifatnya sangat didominasi kegiatan intelektual. Lebih lanjut dapat diamati, bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan anggota profesi ini adalah dasar bagi persiapan dari semua kegiatan professional lainya. Oleh sebab itu, mengajar sering kali sebagai ibu dari segala profesi (Stiennett dan Huggett, 1963 dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:18).

b)                  Jabatan yang Menggeluti Suatu Batang Tubuh Ilmu Khusus
Semua jabatan mempunyai monopoli pengetahuan yang memisahkan anggota mereka dari orang awam, dan memungkinkan mereka mengadakan pengawasan tentang jabatannya. Anggota-anggota suatu profesi menguasai bidang ilmu yang membangun keahlian mereka dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan, amatiran yang tidak terdidik, da kelompok tertentu yang ingin mencari keuntungan (misalnya orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang membuka praktek dokter). Namun, belum ada kesepakatan tentang bidang ilmu khusus yang melatari pendidikan (education) atau keguruan (teaching) (Ornstein and Levine, 1984 , dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:19).
Terdapat berbagai pendapat tentang apakah mengajar memenuhi persyaratan kedua ini. Mereka yang bergerak dibidang pendidikan menyatakan bahwa mengajar telah mengembangkan secara jelas bidang khusus yang sangat penting dalam mempersiapkan guru yang berwenang. Sebaliknya, ada yang berpendapat bahwa mengajar belum mempunyai batang tubuh ilmu khusus yang dijabarkan secara ilmiah. Kelompok pertama percaya nahwa mengajar adalah suatu sains (science), sementara kelompok kedua mengatakan bahwa mengajar adalah suatu kiat (art) (Stinnett dan Huggett, 1963). Namun, dalam karangan-karangan yang ditulis dalam Encyclopedia of Educational Research, misalnya terdapat bukti-bukti bahwa pekerjaan mengajar telah secara intensif mengembangkan batang tubuh ilmu khususnya. Sebaliknya masih ada juga yang berpendapat bahwa ilmu pendidikan sedang dalam krisis identitas sebagai a body of knowledge samar-samar (Sanusi et al., 1991, dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:19)). Sementara itu, ilmu pengetahuan tingkah laku (behavioral Sciences), ilmu pengetahuan alam, dan bidang kesehatan dapat di bombing langsung dengan peraturan dan prosedur yang ekstensif dan menggunakan metodologi yang jelas. Ilmu pendidikan kurang terdefinisi dengan baik. Di samping itu, ilmu yang terpakai dalam dunia nyata pengajaran masih banyak yang belum teruji validasinya dan yang disetujui sebagian besar ahlinya (Gideonse, 1982 dan Woodring, 1983 dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:20).

c)                  Jabatan yang Memerlukan Persiapan Professional yang Lama
Lagi-lagi terdapat perselisihan pendapat mengenai hal ini. Yang membedakan jabatan professional dengan non-prpfesional antara lain adalah dalam penyelesaian pendidikan melalui kurikulum, yaitu ada yang diatur universitas/instut atau melalui pengalaman praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah. Yang pertama, yakni pendidikan melalui perguruan tinggi disediakan untuk jabatn professional, sedangkan yang kedua, yakni pendidikan melalui pengalaman praktek dan pemagangan atau campuran pemagangan dan kuliah diperuntukkan bagi jabatan yng non-profesional (Ornstein dan Levine, 1984. dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:21). Tetapi jenis kedua ini ada lagi di Indonesia.
Anggota kelompok guru yang berwenang didepartemen pendidikan dan kebudayaan berpendapat bahwa persiapan professional yang cukup lama amat perlu untuk mendidik guru yang berwenang. Konsep ini menjelaskan keharusan memenuhi kurikulum perguruan tinggi, yang terdiri dari pendidikan umum, professional, dan khusus, sekurang-kurangnya empat tahun bagi guru pemula (S1 di LPTK), atau pendidikan persiapan professional di LPTK paling kurang selama setahun setelah mendapat gelar akademik S1 di perguruan tinggi non-LPTK. Namun, sampai sekarang di Indonesia, ternyata masih banyak guru yang lama pendidikan mereka sangat singkat, malahan masih ada yang hanya seminggu, sehingga tentu saja kualitas masih sangat jauh untuk dapat memenuhi persyaratan yang kita harapkan.


d)                  Jabatan yang Memerlukan “Latihan Dalam Jabatan” yang Berkesinambungan
Jabatan guru cenderung menunjukkan bukti yang kuat sebagai jabatan professional, sebab hampir tiap tahun guru melakukan berbagai kegiatan pelatihan professional, baik yang mendapat penghargaan kredit maupun tanpa kredit. Malahan pada saat sekarang bermacam-macam pendidikan professional tambahan diikuti guru-guru dalam menyetarakan dirinya dengan kualifikasi yang telah ditetapkan. (Ingat penyetaraan D-II untuk guru-guru SD, dan penyetaraan D-III untuk guru-guru SLTP, baik melalui tatap muka di LPTK tertentu maupun lewat pendidikan jarak jauh yang dikoordinasikan Universitas Terbuka).

e)                  Jabatan yang Menjanjikan Karier Hidup dan Keanggotaan yang Permanen.
Di luar negeri barangkali syarat jabatan guru sebagai karier permanen merupakan titik yang paling lemah dalam menuntut bahwa mengajar adalah jabatan professional. Banyak guru baru yang hanya bertahan selama satu atau dua tahun saja pada profesinya mengajar, setelah itu mereka pindah kerja ke bidang lain, yang lebih banyak menjanjikan bayaran yang lebih tinggi. Untunglah di Indonesia kelihatannya tidak begitu banyak guru yang pindah ke bidang lain, walaupun bukan berarti pula bahwa jabatan guru di Indonesia mempunyai pendapatan yang tinggi. Alasannya mungkin karena lapangan kerja dan system pindah jabatan yng agak sulit. Dengan demikian kriteria ini dapat dipenuhi oleh jabatan guru di Indonesia.

f)                    Jabatan yang Menentukan Baku (Standarnya) Sendiri
Dalam setiap jabatan profesi setiap anggota kelompok dianggap sanggup untuk membuat keputusan professional berhubungan dengan iklik kerjanya. Para professional biasanya membuat peraturan sendiri dalam daerah kompetensinya, kebiasaan dan tradisi yang berhubungan dengan pengawasan yang efektif tentang hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan hal-hal yng berhubungan dengan langganan (klien)nya. Sebetulnya pengawasan luar adalah musuh alam dari profesi, karena membatasi kekuasaan profesi dan membuka pintu terhadap pengaruh luar (Ornstein dan Levine,1984. dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:23).

Peter Blau dan W. Richard Scott dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:23  menulis;
professional service … require that the (professional) maintain independence of judgement and not permit the clients wishes as distinguished their interests to influence his decisions.”

Para professional harus mempunyai pengetahuan dan kecakapan dalam membuat penilaian, sebaliknya tidak demikian dengan klien, sebagaimana ditulis Blau dan Scott, “ and the clients not qualified to evaluate the service he needs”. Professional yang membolehkan langganannya untuk mengatakan apa yang harus dia kerjakan akan gagal dalam memberikan layanan yang optimal.
Bagaimana dengan guru? Guru, sebagaimana sudah diutarakan juga diatas, sebaliknya membolehkan orang tua, kepala sekolah, pejabat kantor wilayah, atau anggota masyarakat lainnya mengatakan apa yang harus dilakukan mereka. Otonomi professional tidak berarti bahwa tidak ada sama sekali control terhadap professional. Sebaliknya, ini berarti bahw control yang memerlukan kompetensi teknis hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan professional dalam hal itu.

g)                  Jabatan yang Lebih Mementingkan Layanan Diatas Keuntungan Pribadi
Jabatan mengajar adalah jabatan yang mempunyai nilai social yang tinggi, tidak perlu diragukan lagi. Guru yang baik akan sangat berperan dalam mempengaruhi kehidupan yang lebih baik dari warga Negara masa depan.
Jabatan guru telah terkenal secara universal sebagai suatu jabatan yang anggotanya termotivasi oleh keinginan untuk membantu orang lain, bukan disebabkan oleh keuntungan ekonomi atau keuangan. Kebanyakan guru memilih jabatn ini berdasarkan apa yang dianggap baik oleh mereka yakni mendapatkan kepuasan rohaniah ketimbang kepuasan ekonomi atau lahiriah. Namun, ini tidak berarti bahwa guru harus dibayar lebih rendah tetapi juga jangan mengaharapkan akan cepat kaya bila memilih jabatan guru. Oleh sebab itu, tidak perlu diragukan lgi bahwa persyaratan ketujuh ini dapat dipenuhi dengan baik.

h)                  Jabatan yang Mempunyai Organisasi Professional yang Kuat dan Terjalin Erat
Semua profesi yang dikenal mempunyai organisasi professional yang kuat untuk dapat mewadahi tjuan bersama dan melindungi anggotanya. Dalam beberapa hal, jabatan guru telah memenuhi kriteria ini dan dalam hal lain belum dapat dicapai. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang merupakan wadah seluruh guru muali dari guru taman kanak-kanak sampai guru sekolah lanjutan atas, dan ada pula Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) yang mewadahi seluruh sarjana pendidikan. Di samping itu, juga telah ada kelompok guru mata pelajaran sejenis baik pada tingkat daerah maupun nasional, namun belum terkait secara baik dengan PGRI. Harus dicarikan usaha yang sungguh-sungguh agar kelompok-kelompok guru mata pelajaran sejenis itu tidak dihilangkan, tetapi dirangkul kedalam pangkuan PGRI sehingga merupakan jalinan yang amat rapi dari suatu profesi yang baik.
Berdasarkan analisis ini tampaknya jabatan guru belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai suatu profesi yang utuh, dan bahkan banyak orang sependapat bahwa guru hanya jabatan semiprofessional atau profesi yang baru muncul (emerging profession) karena belum semua ciri-ciri diatas yang dapat dipenuhi.
Selanjutnya Robert B. Howsam et al. (1976) dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:25, menulis bahwa guru dilihat sebagai profesi yang baru muncul, dank arena itu mempunyai status yang lebih tinggi dari jabatan semiprofessional, malahan mendekati status jbatan profesi penuh. Pada saat sekarang, seperti telah dijelaskan juga didepan, sebagian orang cenderung menyatakan guru sebagai suatu profesi, dan sebagian lagi tidak mengakuinya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan jabatan guru sebagian, tapi bukan seluruhnya, adalah jabatan professional, namun sedang bergerak kearah itu. Kita di Indonesia dapat merasakan jalan kea rah itu mulai ditapaki, misalnya dengan adanya peraturan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan  bahwa yang boleh menjadi guru hanya yang mempunyai akta mengajar yang dikeluarkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Selain itu, juga guru diberi penghargaan oleh pemerintah melalui Keputusan Menpan No. 26 Tahun 1989, dengan memberikan tunjangan fungsional sebagai pengajar, dan dengan kemungkinan kenaikan pangkat yang terbuka.
Profesi kependidikan, khususnya profesi keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Sejalan dengan alasan tersebut, jelas kiranya bahwa profesionalisasi dalam bidang keguruan mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Lebih khusus lagi, Sanusi et al. (1991) dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004:26 mengajukan enam asumsi yang melandasi perlunya profesionalisasi dalam pendidikan, yakni sebagai berikut:
1)      Subjek pendidikan adalah manusia yang memiliki kemauan, pengetahuan, emosi, dan perasaan dan dapat dikembangkan segala potensinya; sementara itu pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang menghargai martabat manusia.
2)      Pendidikan dilakukan intensional, yakni secara sadar dan bertujuan, maka pendidikan menjadi normative yang diikat oleh norma-norma dan nilai-nilai yang baik secara universal, nasional, maupun local, yang merupakan acuan para pendidik, peserta didik, dan pengelola pendidikan.
3)      Teori-teori pendidikan merupakan kerangka hipotetis dalam menjawab permasalahan pendidikan.
4)      Pendidikan bertolat dari asumsi pokok tentang manusia, yakni manusia mempunyai potensi yang baik untuk berkembang. Oleh sebab itu, pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan potensi unggul tersebut.
5)      Inti pendidikan terjadi dalam prosenya, yakni situasi dimana terjadi dialog antara peserta didik dengan pendidik, yang memungkinkan peserta didik tumbuh kearah yang dikenhendaki oleh pendidik dan selaras dngan nilai-nilai yang dijunjung tinggi masyarakat.
6)      Sering terjadinya dilemma antara tujuan utama pendidikan, yakni menjadikan manusia sebagai manusi yang baik (dimensi intriksik) dengan misi instrumental yakni yang merupakan alat untuk perubaan atau mencapai sesuatu.


2.1.4    Perkembangan Profesi Keguruan

Kalau kita ikuti perkembangan profesi keguruan di Indonesia, jelas bahwa pada mulanya guru-guru Indonesia diangkat dari orang-orang yang tidak berpendidikan khusus untuk memangku jabatan guru. Dalam bukunya sejarah pendidikan Indonesia, Nasution (1987) dalam Soetjipto dan Raflis Kosasih, Profesi Keguruan, 2004: 27 secara jelas melukiskan sejarah pendidikan di Indonesia terutama dalam zaman colonial Belanda, termasuk juga sejarah profesi keguruan. Guru-guru yang pada mulanya diangkat dari orang-orang yang tidak dididik secara khusus menjadi guru, secara berangsu-angsur dilengkapi dan ditambah dengan guru-guru yang lulus dari sekolah guru (Kweekschool) yang pertama kali didirikan di Solo tahun 1852. Karena kebutuhan yang mendesak maka Pemerintah Hindia Belanda mengangkat lima macam guru, yakni : (1) Guru lulusan sekolah guru yang dianggap sebagai guru yang berwenang penuh, (2) guru yang  bukan lulusan sekolah guru, tetapi lulus ujian yang diadakan untuk menjadi guru, (3) guru bantu, yakni yang lulus ujian guru bantu, (4) guru yang dimagangkan kepada seorang guru senior, yang merupakan calon guru, dan (5) guru yang diangkat karena keadaan yang amat mendesak yang beasal dari warga yang pernah mengecap pendidikan. Tentu saja yang terakhir ini sangat beragam dari satu daerah dengan daerah lainnya.
Walaupaun sekolah guru telah dimualai dan kemudian juga didirikan sekolah normal, namun mulanya bila dilihat dari kurikulumnya dapat kita katakana hany mementingkan pengetahuan yang akan diajarkan saja. Kedalamnya belum dimasukkan secara khusus kurikulum ilmu mendidik dan psikologi. Sejalan dengan pendirian sekolah-sekolah yang lebih tinggi tingkatnya dari sekolah umum seperti Hollands Inlandse School (HIS), Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO), Hogere Burgeschool (HBS), dan Algemene Middelbare School (AMS) maka secara berangsur-angsur didirikan pula lembaga pendidikan guru atau kursus-kursus untuk mempersiapkan guru-gurunga, seperti Hogere Kweekschool (HKS) untuk guru HIS dab kursus Hoofdacte (HA) untuk calon kepala sekolah (Nasution 1987).
Keadaan yang demikian berlanjut sampai zaman pendudukan jepang dan awal perang kemerdekaan, walaupun dengan nama dan bentuk lembaga pendidikan guru yang disesuaikan dengan keadaan waktu itu. Selangkah demi selangkah pendidkan guru meningkatkan jenjng kualifikasi dan mutunya, sehingga saat ini kita hanya mempunyai lembaga pendidikan guru yang tunggak, yakni Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Walaupun jabatan guru tidak harus disebut jbatan professional penuh, statusnya mulai membaik. Di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yuang mewadahi persatuan guru, dan juga mempunyai perwakilan perwakilan di DPR/MPR.


2.2       Kode Etik Profesi Keguruan

Setiap profesi, seperti telah dibicarakan dalam bagian terdahulu, harus mempunyai kode etik profesi. Dengan demikian, jabatan dokter, notaries, arsitek, guru dan lain-lain yang merupakan bidang pekerjaan profesi mempunyai kode etik. Sama halnya dengan kata profesi itu sendiri, penafsiran tentang kode etik juga belum memiliki pengertian yang sama. Sebagai contoh, dapat dicantumkan beberapa pengertian kode etik, antara lain sebagai berikut:
           
2.2.1    Pengertian Kode Etik Profesi Keguruan

Secara umum, kode etik profesi adalah suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum.
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti suatu kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Yang pertama kali menggunakan kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aris Toteles (384–322 SM). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), etika / moral adalah ajaran tentang baik dan buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.
Menurut K. Bertenes, Etika adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam mengatur tingkah lakunya. Dari pengertian di atas, disimpulkan bahwa Etika merupakan ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan tingkah laku (akhlak). Jadi, Etika membicarakan tingkah laku manusia yang dilakukan dengan sadar di pandang dari sudut baik dan buruk sebagai suatu hasil penilaian.
Sedangkan menurut Menurut Gibson and Mitchel (1995;449), suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai profesional suatu profesi yang diterjemahkan dalam standar prilaku anggotanya. Nilai profesional tadi ditandai adanya sifat altruistis artinya lebih mementingkan kesejahteraan orang lain dan berorientasi pada pelayanan umum dengan prima.Kode etik dijadikan standar aktivitas anggota profesi, kode etik itu sekaligus dijadikan pedoman  tidak hanya bagi anggota profesi tetapi juga dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk menjaga bias/kesewenangan penggunaan kode etik.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian. Pasal 28 Undang-Undang ini dengan jelas menyatakan bahwa “pegawai Negeri Sipil mempunyai Kode Etik sebagai pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan di dalam dan di luar kedinasan “. Dalam penjelasan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa dengan adanya Kode Etik ini, pegawai negeri sipil sebagai aparatur Negara, abdi Negara, dan abdi masyarakat mempunyai pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugasnya dan dalam pergaulan hidup sehari-hari. Selanjutnya, dalam Kode Etik Pegawa Negeri Sipil itu digariskan pula prinsip-prinsip pokok tentang pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pegawai negeri. Dari uraian ini dapat kita simpulkan, bahwa kode etik merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan di dalam melaksanakan tugas dan dalam hidup sehari-hari.
Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan dalam Kongres PGRI pada tahun 1973 pada Kongres ke XIII di Jakarta. Kemudian disempurnakan pada Kongres ke XVI tahun 1989 di Jakarta. Dalam pidato pembukaan kongres PGRI XIII, Basuni sebagai Ketua Umum PGRI menyatakan bahwa Kode Etik Guru Indonesia merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku guru warga PGRI dalam melaksanakan panggilan pengabdiannya bekerja sebagai guru (PGRI,1973). Dari pendapat Ketuan Umum Guru Indonesia terdapat dua unsure pokok yakni: (1) Sebagai landasan moral, (2) Sebagai pedoman tingkah laku.
Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya.
Dari uraian tersebut terlihat, bahwa kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota profesi di dalam melaksanakan tugas profesinya dan dalam hidup di masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk-petunjuk bagi para anggota profesi tentang bagaimana mereka melaksanakan profesinya dan larangan-larangan, yaitu ketentuan-ketentuan tentang apa yang tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh mereka, tidak saja dalam menjalankan tugas profesi mereka, melainkan dalam pergaulannya sehari-hari di dalam masyarakat ( Prof. Soetjipto dan Drs. Raflis Kosasi, M.Sc. (2004 : 29)
Jadi dapat ditarik benang merah bahwa kode etik guru diartikan sebagai aturan tata-susila keguruan.Aturan-aturan tentang keguruan (yang menyangkut pekerjaan-pekerjaan guru) melibatkan dari segi usaha. Maksud dari kode etik guru di sini adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan (sekolah); guru dengan sesama guru; guru dengan peserta didik; dan guru dengan lingkungannya.Sebagai sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan kode etik khusus untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut.


2.2.2    Tujuan Kode Etik Profesi

Tujuan utama dari kode etik adalah memberi pelayanan khusus dalam masyarakat tanpa mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Dalam proses pendidikan, banyak unsur-unsur yang terlibat agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya adalah guru sebagai tenaga pendidik. Tujuan merumuskan kode etik dalam suatu profesi adalah untuk kepentingan anggota dan kepentingan organisasi profesi itu sendiri. Secara umum tujuan mengadakan kode etik adalah sebagai berikut (R. Hermawan S, 1979):

a.                  Untuk menjunjung tinggi martabat profesi
Dalam hal ini kode etik dapat menjaga padangan dan kesan dari pihak luar atau masyarakat, agar mereka jangan sampai memandang rendah atau remeh terhadap profesi yang bersangkutan. Oleh karenanya. Setiap kode etik suatu profesi akan melarang berbagai bentuk rindak-tanduk atau kelakuan anggota profesi yang dapat mencemarkan nama baik profesi terhadap dunia luar. Dari segi ini, kode etik juga sering kali di sebut kode etik kehormatan.

b.                  Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggotanya
Yang dimaksud kesejahteraan disini baik kejahteraan lahir ( material) maupun kesejahteraan batin (spiritual atau mental). Dalam hal kesejahteraan lahir para anggota profesi kode etik umumnya memuat larangan-larangan kepada para anggotanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kesejahteraan para anggotanya. Misalnya dengan menetapkan tariff-tarif minimum bagi honorarium anggotan profesi dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga siapa-siapa yang mengadakan tariff dibawah minimum akan dianggap tercela dan merugikan rekan-rekan seprofesi. Dalam hal kesejahteraan batin para anggota profesi, kode etik umumnya memberikan petunjuk-petunjuk kepada para anggotanya untuk melaksanakan profesinya.

c.                   Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi
Tujuan kode etik dapat juga berkaiatan dengan peningkatan kegiatan pengabdian profesi, sehingga bagi para anggota profesi dapat dengan mudah mengetahui tugas dan tanggung jawab pengabdiannya dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, kode etik merumuskan ketentuan-ketentuan yang perlu dilakukan para anggota profesi dlam menjalankan tugasnya.

d.                  Untuk meningkatkan mutu profesi
Untuk meningkatkan mutu profesi kode etik juga memuat norma-norma dan anjuran agar para anggota profesi selalu berusaha untuk meningkatkan mutu pengabdian para anggotanya.

e.                   Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi
Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi, maka diwajibkan kepada setiap anggota untuk secara aktif berpartisipasi dalam membina organisasi dan kegiatan-kegiatan yang dirancang organisasi.

Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan suatu profesi menyusun kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, meningkatkan pengabdian anggotan profesi, dan meningkatkan mutu profesi dan mutu organisasi profesi.

2.2.3    Penetapan Kode Etik

Kode etik hanya dapat ditetapkan oleh suatu organisasi profesi yang berlaku dan mengikat para anggotanya. Penetapan kode etik lazim dilakukan pada suatu kongres organisasi profesi. Dengan demikian, jelas bahwa orang-orang yang bukan atau tidak menjadi anggota profesi tersebut, tidak dapat dikenakan aturan yang ada dalam kode etik tersebut. Kode etik suatu profesi hanya akan mempunyai pengaruh yang kuat dalam menegakkan disiplin dikalangan profesi tersebut, jika semua orang yang menjalankan profesi tersebut tergabung (menjadi anggota) dalam organisasi profesi yang bersangkutan.
Apabila setiap orang yang menjalankan suatu profesi secara otomatis tergabung didalam suatu organisasi atau ikatan professional, maka barulah ada jaminan bahwa profesi tersebut dapat dijalankan secara murni dan baik, karena setiap anggotan profesi yang melakukan pelanggaran yang serius terhadap kode etik dapat dikenakan sanksi.

2.2.4    Sanksi Pelanggaran Kode Etik

Sering juga kita jumpai, bahwa ada kalanya Negara mencampuri urusan profesi, sehingga hal-hal yang semula hanya merupakan kode etik dari suatu profesi tertentu dapat meningkat menjadi peraturan hokum atau undang-undang. Apabila halnya demikian, maka aturan yang mulanya sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku meningkat menjadi aturan yang member sanksi-sanksi hokum yang sifatnya memaksa, baik berupa sanksi perdata maupun sanksi pidana.
Pada umumnya, karena kode etik adalah landasan moral dan merupakan pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan maka sanksi terhadap pelaggaran kode etik adalah sanksi moral. Barang siapa melanggar kode etik akan mendapat celaan dari rekan-rekannya, sedangkan sanksi yang dianggap terberat adalah si pelanggar dikeluarkan dari organisasi profesi. Adanya kode etik dalam suatu organisasi profesi tertentu, menandakan bahwa organisasi profesi itu telah mantap.

2.2.5    Kode Etik Guru Indonesia

Pada dasarnya guru adalah tenaga professional di bidang kependidikan yang memiliki tugas mengajar, mendidik, dan membimbing anak didik agar menjadi manusia yang berpribadi (pancasila). Dengan demikian, guru memiliki kedudukan yang sangat penting dan tanggung jawab yang sangat besar dalam menangani berhasil atau tidaknya program pendidikan.Kalau boleh dikatakan sedikit secara ideal, baik atar buruknya suatu bangsa di masa mendatang banyak terletak di tangan guru.
Sehubungan dengan itu guru sebagai tenaga professional memerlukan pedoman atau kode etik guru agar terhidar dari segala bentuk penyimpangan. Kode etik menjadi pedoman baginya untuk tetap professional (sesuai dengan tuntutan dan persyaratan profesi).Setiap guru yang memegang keprofesionalannya sebagai pendidik akan selalu berpegang epada kode etik guru. Sebab kode etik guru ini sebagai salah satu ciri yang harus ada pada profesi itu sendiri.
Kode etik yang memedomani setiap tingkah laku guru senantiasa sangat diperlukan. Karena dengan itu penampilan guru akan terarah dengan baik, bahkan akan terus bertambah baik. Ia akan terus menerus memperhatikan dan mengembangkan profesi keguruannya. Kalau kode etik yang merupakan pedoman atau pegangan itu tidak dihiraukan berarti akan kehilangan pola umum sebagai guru. Jadi postur kepribadian guru akan dapat dilihat bagaimana pemanfaatan dan pelaksanaan dari kode etik yang sudah disepakati bersama tersebut. Dalam hubungan ini jabatan guru yang betuk-betuk professional selalu dituntut adanya kejujuran professional. Sebab kalau tidak ia akan kehilangan pamornya sebagai guru atau boleh dikatakan hidup diluar lingkup keguruan.
Fungsi kode etik guru Indonesia adalah sebagai landasan moral dan pedoman tingkah laku setiap guru warga PGRI dalam menunaikan tugas pengabdiannya sebagai guru, baik didalam maupun di luar sekolah serta dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Dengan demikian mka Kode Etik Guru Indonesia merupakan alat yang amat penting untuk pembentukan sikap professional para anggota profesi keguruan.
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Fungsi seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel (1945 : 449) yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas prosefional dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang professional.
Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman dengan fungsinya mengatur hubungan guru dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi tugasnya. Menurut Oteng Sutisna (1986 : 364) bahwa pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya difungsikan sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan misi dalam mendidik peserta didik. Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik.
Dengan ditandai adanya perilaku empati, penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan serta kejelasan ekspresi seorang guru.Seorang guru apabila ingin menjadi guru yang professional harusnya mendalami serta memiliki etika diatas tersebut.
Etika hubungan garis dengan pimpinan di sekolah menuntut adanya kepercayaan. Bahwa guru percaya kepada pimpinan dalam meberi tugas dapat dan sesuai dengan kemampuan serta guru percaya setiap apa yang telah dikerjakan mendapatkan imbalan dan sebaliknya bahwa pimpinan harus yakin bahwa tugas yang telah diberikan telah dapat untuk dilaksanakan. Guru sangat perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat untuk kepentingan pendidikan. Guru juga harus menghayati apa saja yang menjadi tanggung jawab tugasnya.

KODE ETIK GURU INDONESIA

Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan dalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan Negara serta kemanusiaan pada umunya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada Undang-Undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut:

1.                  Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila.
2.                  Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional.
3.                  Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar.
4.                  Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
5.                  Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya.
6.                  Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan social.
7.                  Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai perjuangan dan pengabdian.
8.                  Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.
Adapun lebih jelasnya, rinciannya adalah sebagai berikut,

1.      Guru Berbakti Membimbing Anak Didik Seutuhnya Untuk Membentuk Manusia Pembangunan Yang Ber-Pancasila

Maksud dari rumusan ini, sesuai dengan roeping-nya, guru harus mengabdikan dirinya secara ikhlas untuk menuntun dan mengantarkan anak didik seutuhnya, baik jasmani maupun rohani, baik fisik maupun mental agar menjadi insan pembangunan yang menghayati dan mengamalkan serta melaksanakan berbagai aktivitasnya dengan mendasarkan pada sila-sila pada Pancasila. Guru harus membimbing anak didiknya kearah hidup yang selaras, serasi dan seimbang.

2.      Guru Memiliki Kejujuran Professional Dalam Menerapkan Kurikulum Sesuai Dengan Kebutuhan Anak Didik Masing-masing

Berkaitan dengan item ini, maka guru harus mendesain program pengajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setiap anak didik.Yang lebih penting lagi guru harus menerapkan kurikulum secara benar, sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak didik.Kurikulum dan program pengajaran untuk tingkat SD harus juga diterapkan di SD, kurikulum untuk tingkat perguruan tinggi harus juga diterapkan untuk perguruan tinggi begitu seterusnya. Bukan asal gampangnya saja, kurikulum untuk program SMP dapat digunakan di SD, SMA dan bahkan digunakan untuk perguruna tinggi. Hal semacam ini berarti guru sudah melanggar kejujuran profesional.

3.      Guru Mengadakan Komunikasi, Terutama Dalam Memperoleh Informasi Tentang Anak Didik

Dalam kaitan belajar-mengajar, guru perlu mengadakan komunikasi dan hubungan baik dengan anak didik.Hal ini terutama agar guru mendapatkan informasi secara lengkap mengenai diri anak didik. Dengan mengetahui keadaan dan karakteristik anak didik ini, maka akan sangat membantu bagi guru dan siswa dalam upaya menciptakan proses belajar-mengajar yang optimal. Untuk ini ada ha-hal yang perlu diperhatikan, yakni; (1) segala bentuk kekakuan dan ketakutan harus dihilangkan dari perasaan anak didik, tetapi sebaliknya harus dirangsang sedemikian rupa sehingga sifat terbuka, berani mengemukakan pendapat dan segala masalah yang dihadapinya, (2) semua tindakan guru terhadap anak didik harus selalu mengandung unsur kasih sayang, ibarat orang tua dengan anaknya. Guru harus bersifat sabar, ramah, terbuka, (3) diusahakan guru dan anak didik dalam satu kebersamaan orientasi agar tidak menimbulkan suasana konfli. Sebab harus dimaklumi bahwa sekolah atau kelas merupakan kumpulan subjek-subjek yang heterogen, sehingga keadaannya cukup kompleks, (4) kemudian yang harus diingat oleh guru adalah dalam mengadakan komunikasi.Hubungan yang harmonis dengan anak didik itu tidak boleh disalahgunakan.Dengan sifat ramah, kasih sayang dan saling keterbukaan dapat diperoleh informasi mengena diri anak didik secara lengkap.Ini semata-mata demi kepentingan belajar anak didik, tidak boleh untuk kepentingan guru, apalagi untuk maksud-maksud pribadi guru itu sendiri.

4.      Guru Menciptakan Suasana Kehidupan Sekolah Dan Memelihara Hubungan Dengan Orang Tua Murid Sebaik-baiknya Bagi Kepentingan Anak Didik
Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah, maksudnya bagaimana guru itu dapat menciptakan kondisi-kondisi optimal, sehingga anak itu bisa belajar, harus belajar, perlu dididik dan perlu bimbingan. Usaha menciptakan suasana kehidupan sekolah sebagaimana dimaksud diatas, akan menyangkut dua hal; (1) yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar di kelas secara langsung meliputi hal-hal pengaturan tata-ruang kelas yang lebih kondusif untuk kepentingan pengajaran, penciptaan iklim atau suasana belajar-mengajar yang lebih serasi dan menyenangkan, misalnya pembinaan situasi keakraban di dalam kelas, (2) menyiptakan kehidupan sekolah dalam arti luas yakni meliputi sekolah secara keseluruhan.Dalam hubungan ini dituntut adanya hubungan baik dan interaksi antara guru dengan guru, guru dengan anak didik, guru dengan pegawai, pegawai deengan anak didik. Dengan demikian, memang dituntut adanya keterlibatan semua pihak di dalam lembaga kependidikan, sehingga dapat menunjang berhasilnya proses belajar-mengajar. Selanjutnya dalam mengusahakan keberhasilan proses belaja-mengajar itu, guru juga harus membina hubungan baik dengan orang tua murid. Melalui hal ini diharapkan dapat mengetahui keadaan anak didiknya dan bagaimana kegiatan belajarnya di rumah.Juga untuk mengetahui beberapa hal tentang anak didik melalui orang tuanya, sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk menentukan kegiatan belajar-mengajar yang lebih baik.Hubungan baik antara guru dengan orang tua murid merupakan factor yang tidak dapat ditinggalkan, karena keberhasilan belajar anak didim tidak dapat dipisahkan dengan bagaimana keadaan dan usaha orang tua murid.Apalagi kalau ada kaitannya dengan tugas dan kewajiban guru sebagai pendidik, dalam upaya membina kepribadian anak didik, maka andil orang tua sangat menentukan.

5.      Guru Memelihara Hubungan Baik Dengan Masyarakat Disekitar Sekolahnya Maupun Masyarakat Yang Lebih Luas Untuk Kepentingan Pendidikan
Sesuai denga tri pusat pendidikan, masyarakat ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan. Oleh karena itu,gru juga harus membina hubungan baik dengan masyarakat, agar dapat menjalankan tugasnya sebagai pelaksana proses belajar mengajar. Dalam hal ini mengandung dua dimensi penglihatan, yakni masyarakat disekitar sekolah,  bagi guru sangat penting untuk selalu memelihara hubungan baik, Karena guru akan mendapat masukan, pengalaman serta memahami berbagai kejadian atau perkembangan masyarakat itu. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai usaha pengembangan sumber belajar yang lebih mengena demi kelancaran proses belajar mengajar. Sebagai contoh guru yang sedang menerangkan sesuatu pelajaran, kemudian untuk memperjelas dapat diberikan ilustrasi dengan beberapa perkembanganyang terjadi di masyarakat sekitar. Di samping itu jika sekolah mengadakn berbagai kegiatan, sanagt memerlukan kemudahan dari masyarakat sekitar. Selanjutnya jika dilihat dari masyarakat secara luas, kererikan atau hubungan baik guru dengan masyarakat luas itu akan mengembangkan pengetahuan guru tentang persepsi kemasyarakatan yang lebih luas. Misalnya tentang budaya masyarakat dan bagaimana masyarakat  sebagai pemakai lulusan.

6.      Guru Secara Sendiri Atau Bersama-sama Berusaha Mengembangkan Dan Meningkatkan Mutu Profesinya
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, guru harus selalu meningkatkan mutu profesinya, baik dilaksanakan secara perseorangan ataupun secara bersama-sama. Hal ini sangat penting, karena baik buruknya layanan kan mempengaruhi vitra guru ditenga-tengan masyarakat. Adapun cara-cara meningkatkan mutu profesi guru dapat dilakukan sebagai berikut; (1) secara sendiri-sendiri, yaitu dengan jalan, menekuni dan mempelajari secaa kontinu pengetahuan-pengetahuan yang berhubunga dengan teknik atau proses belajar-mengajar secara umum, misalnya pengetahuan-pengetahuan tentang PBM (Proses Belajar Mengajar), ilmu-ilmu lain yang relevan dengan tugas keguruanya, mendalami spesialisasi bidang studi yang diajarkan, melakukan kegiatan-kegiatan mandiri yang relevan denga tugas keprofesiannya, mengembangkan materi dan metodologi yang sesuai denga kebutuhan pengajaran, melakukan supervisi dialog dan konsultasi denga guru-guru yang sudah lebih senior, (2) secara bersama-sama,dapat dilakukan misalnya dengan: mengikuti berbagai bentuk penataran dan lokakarya, mengikuti program pembinaan keprofesian secara khusus, misalnya program akta ataupun reedukasi bagi yang merasa belum memenuhi kompetensinya, mengadakan kegiatan diskusi dan salig tukar pikiran dengan teman sejawata terutama yang berkaitan dengan peningkatan mutu profesi.

7.      Guru Menciptakan Dan Memelihara Hubungan Antarsesama Guru Baik Berdasarkan Lingkungan Kerja Maupun Didalam Hubungan Keseluruhan
Kerja sama dan pembinaan hubungan antar guru di lingkungan tempat kerja, merupakan usaha yang sangat penting. Sebab dengan pembinaan kerja sama antar guru di suatu lingkungan kerja akan dapat meningkatkan kelancaran mekanisme kerja, bahkan juga sebagai langkah-langkah peningkatan mutu profesi guru secara kelompok. Bergayut dengan ini guru juga perlu membina hubungan dengan sesama guru secara keseluruhan, termasuk guru-guru di luar lingkungan tempat kerja. Hal ini dapat memberi masukan dan menambah pengalaman masing-masing guru, karena mungkin perkembangan di suatu daerah berbeda dengan perkembangan daerah yang lain (study komperasi).

8.      Guru Secara Bersama-sama Memelihara, Membina Dan Meningkatkan Mutu Organisasi Guru Professional Sebagai Sarana Pengabdiannya
Salah satu ciri profesi adalah dimilikinya organisasi professional.Begitu juga guru sebagai tenaga professional kependidikan, juga memiliki organisasi professional.Di Indonesia wadah atau organisasi professional itu adalah PGRI, atau juga ISPI.Untuk meningkatkan pelayanan dan sarana pengabdiannya organisasi itu harus tetap dipelihara, dibina bahkan ditingkatkan mutu dan kekompakkan. Sebab denga peningkatan mutu organisasi berarti akan mampu merencanakan dan melaksanakan program yang bermutu dan yang sesuai denga kebutuhan masyarakat.

Karena itu organisasi PGRI dan ISPI harus lebih ditingkatkan dan perlu setiap kali mengadakan pertemuan antarpara guru di berbagai daerah atau mungkin secaraa nasional.Dalam pertemuan itu dibicarakan berbagi program yang bermanfaat, terutam bagaimana upaya meningkatkan mutu organnisasi tersebut.Peningkatan mutu organisasi professional itu, di samping untuk melindungi kepentingan anggota (para guru) juga sebagai wadah kegiatan pembinaan dan peningkatan mutu profesionalisme guru.

9.      Guru Melaksanakan Segala Ketentuan Yang Merupakan Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Bidang Pendidikan
Guru adalah bagian warga negara  dan warga nasyarakat yang merupakan aparat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud). Atau aparat pemerintah di bidang pendidikan.Pemerintah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pengelola bidang pendidikan sudah pasti memiliki ketentuan-ketentuan yang merupakan policy, agar pelaksanaan dapat terarah.

Guru sebagai aparat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan pelaksanaan langsung kurikulum dan proses belajar-mengajar, harus memahami dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh pemerintah mengenai bagaimana menangani persoalan-persoalan pendidikan. Dengan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan itu, diharapkan proses pendidikan berjalan lancer sehingga bisa menopang pelaksanaan pembangunan bangsa secara integral.

Tetapi harus diingat bahwa kebijaksanaan atau ketentuan-ketentuan pemerintah itu biasanya bersifat umum. Oleh karena itu guru sebagai pelaksana yang paling operasional harus memahami secara cermat dan kritis serta mengembangkannya secara rasional dan kreatif yang akhirnya dapat mendukung policy pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tersebut. Untuk mengarahkan kepada maksud-maksud sebagaiman disebutkan diatas, maka perlu dilakukan hal-hal antara lain sebagai berikut; (1) guru harus memahami betul-betul maksud dan arah kebikjasanaan pendidikan nasional, agar dapat mengambil langkah-langkah secara tepat, (2) guru harus terus-menerus meningkatkan profesi dan kesadaran guru untuk memenuhi hakikat keprofesiannya,(3) dilkuakn penilaian, pengawasan dan sanksi yang objektif dan rasional, pemimpin lembaga-lembaga pendidikan harus bersifat terbuka, dalam upaya menerjemahkan setiap ketentuan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (4) guru yang semata-mata sebagai kiat dan pelaksana pemerintah di bidang kurikulum dan proses belajar-mengajar, perlu netral, tidak memihak pada golongan politik apa pun, (5) dalam melaksanakan kebijakan pemerintah (Departemen Pendidika dan Kebudayaan), yang berkenaan dengan pembaruan di bidang pendidikan, perlu diupayakan kerja sama antara pemrintah dan organisasi professional guru (PGRI) dan juga dengan ISPI.
Dengan memahami sembilan butir kode etik guru seperti diuraikan di atas, diharapka guru mampu berperan secara aktif dalam upaya memberikan motivasi kepada subjek belajar yang dihadapi oleh anak didik/subjek belajar berarti akan dapat dipecahkan atas bimbingan guru dan kemampuan serta kegairahan mereka sendiri. Dengan demikian, kegiatan belajar-mengajar akan berjalan degan baik, sehingga hasilnya optimal.

2.3       Organisasi Profesional Keguruan

2.3.1    Fungsi dan Tujuan Organisasi Profesional Keguruan

Seperti yang telah disebutkan dalam salah satu kriteria jabatan professional, jabatn profesi harus mempunyai wadah untuk menyatukan gerak langkah dan mengendalikan keseluruhan profesi, yakni organisasi profesi. Bagi guru-guru dinegara kita, wadah ini telah ada yakni Persatuan Guru Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan singkatan PGRI. PGRI didirikan di Surakarta pada tanggal 25 November 1945, sebagai perwujudan aspirasi guru Indonesia dalam mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa (Hermawan S., 1989).  Salah satu tujuan PGRI adalah mempertinggi kesadaran, sikap, mutu dan kegiatan profesi guru serta meningkatkan kesejahteraan mereka (Basuni,1986). Selanjutnya, Basuni menguraikan empat misi utama PGRI, yakni: (a) Misi politis/ideology, (b) Misi persatuan organisatoris, (c) Misi profesi, dan (d) Misi kesejahteraan.
Dalam kaitannya dengan pengembangan professional guru, PGRI sampai saat ini masih mengandalkan pihak pemerintah, misalnya dalam merencanakan dan melakukan  program-program penataran guru serta program peningkatan mutu lainnya. PGRI belum banyak merencanakan dan melakukan program atau kegiatan yang berkaitan dengan perbaiakan cara mengajar, peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru, peningkatan kualifikasi guru, atau melakukan penelitian ilmiah tentang masalah-masalah professional yang dihadapi oleh para guru dewasa ini.
Kebanyakan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan mutu profesi biasanya dilakukan bersamaan dengan kegiatan peringatan ulang tahun atau kongres, baik di pusat maupun di daerah (Sanusi et al., 1991). Oleh sebab itu, peranan organisasi ini dalam peningkatan mutu professional keguruan belum begitu menonjol.



2.3.1.1 Fungsi dari Organisasi Profesi Keguruan

Adapun fungsi dari organisasi profesi keguruan adlah;
1.                   Fungsi Pemersatu    
Yaitu dorongan yang menggerakkan para profesional untuk membentuk suatu organisasi keprofesian. Motif tersebut begitu bervariasi, ada yang bersifat sosial, politik ekonomi, kultural, dan falsafah tentang sistem nilai. Namun umunya dilatarbelakangi oleh dua motif, yaitu Motif intrinsik dan ekstrinsik. Secara Intrinsik, para profesional terdorong oleh keinginannya mendapat kehidupan yang layak, sesuai dengan tugas profesi yang diembannya. Bahkan mungkin mereka terdorong untuk menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Secara Ekstrinsik mereka terdorong oleh tuntutan masyarakat pengguna jasa suatu profesi yang semakin hari semakin kompleks.
Kedua motif tersebut sekaligus tantangan bagi pengembangan profesi. Namun kesadaran inilah yang menyebabkan para professional membentuk organisasi profesi. Dan dengan demikian organisasi tersebut dapat dijadikan pemersatu antar profesi, yang diharapkan organisasi kependidikan memiliki kewibawaan dan kekuatan dalam menentukan kebijakan dan melakukan tindakan bersama yaitu ipaya melindungi dan memperjuangkan kepentingan para pengemban profesi kependidikan itu sendiri dan kepentingan masyarakat pengguna jasa profesi.

 
2.                   Fungsi Peningkatan Kemampuan Profesional        
Fungsi kedua dari organisasi kependidikan adalah meningkatkan kemampuan profesional pengemban profesi kependidikan ini. Fungsi ini secara jelas tertuang dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61 yang berbunyi: “Tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi sebagai wadah untuk meningkatkan dan mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan”.
Bahkan dalam UUSPN tahun 1989, pasal 31 ; ayat 4 dinyatakan bahwa : “Tenaga kependidikan berkewajiban untuk berusaha mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan perkembangan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa”. Kemampuan yang dimaksud adalah apa yang disebut dengan istilah kompetensi. Kompetensi merupakan kecakapan atau kemampuan mengerjakan kependidikan. Menurut Johnson kompetensi dibangun oleh 6 perangkat kompetensi, yaitu; (1) Performence Component,(2)  Subject Component, (3) Professional Component, (4) Process Component, (5) Adjustment Component, (6) Attidudes Component.
Peningkatan kemampuan professional juga terkait dengan Kurikulum 1994 dapat dilakukan melalui dua program, yaitu Program Terstruktur adalah program yang dibuat dan dilaksanakan sedemikian rupa, mempunyai bahan dan produk kegiatan belajar yang dapat diakreditasikan secara akademik dalam jumlah SKS tertentu. Sedangkan Program Tidak Terstruktur adalah program pembinaan dan pengembanganztenaga kependidikan yang dibuka berdasarkan kebutuhan tertentu sesuai dengan tuntutan waktu dan lingkungan yang ada. Terlingkup dalam program tidak terstruktur ini adalah ; (1) penataran tingkat nasional  dan wilayah, (2) supervisi yang dilaksanakan oleh pejabat terkait, (3) pembinaan dan pengembangan sejawat, (4) pembinaan dan pengembangan individual.

    
                 2.3.1.2 Tujuan Organisasi Profesi Keguruan
Organissi profesi sebagaimana telah disebutkan dalam UU RI pasal 40 ayat 1 mempunyi tujuan untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, krir, wawasan pendidikan, perlindungan profesi, kesejahteran, dan pengabdian dalam masyarakat.Sebagaimana dijelaskan dalam PP No. 38 tahun 1992, pasal 61, ada lima misi dan tujuan organisasi kependidikan, yaitu : meningkatkan dan/atau mengembangkan. Sedangkan visinya secara umum ialah terwujudnya tenaga kependidikan yang profesional.
1.    Meningkatkan dan atau Menngembangkan Karier Anggota
Merupakan upaya organisasi profesi kependidikan dalam mengembangkan karier anggota sesuai dengan bidang pekerjaan yang diembannya. Karier yang di maksud adalah perwujudan diri seorang pengemban profesi secara psikofisis yang bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupuin bagi oran lain (lingkungannya)  melalui serangkaian aktifitas.

2.    Meningkatkan dan atau Mengembangkan Kemampuan Anggota
Merupakan upaya terwujudnya kompetensi kependidikan yang handal dalam diri tenaga kependidikan atau guru, yang mencakup: performance component, subject component, profesional component. Dengan kekuatan dan kewibawaan organisasi, para pengemban profesi kependidikan/keguruan akan memiliki kekuatan moral untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya, baik melalui program terstruktur maupun program tidak terstruktur.

3.                   Meningkatkan dan Mengembangkan Kewenangan Profesinal Anggota
Merupakan upaya paraprofesional untuk menempatkan anggota suatu profesi sesuai dengan kemampuannya. Proses ini tidak lain dari proses spesifikasi pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, kecuali oleh ahlinya yang telah mengikuti proses pendidikan tertentu dan dalam waktu tertentu yang relatif  lama. Umpamanya, keahlian guru pembimbing dalam bimbinghan karier, pribadi atau sosial, dan bimbingan belajar.
4.    Meningkatkan dan atau Mengembangkan Martabat Anggota
Merupakan  upaya organisasi profesi kependidikan agar anggotanya terhindar dari perlakuan tidak manusiawi dari pihak lain, dan tidak melakukan praktik yang melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. Ini dapat dilakukan karena saat seorang profesional menjadi anggota organisasi suatu profesi, pada saat itu pula terikat oleh kode etik profesi sebagai pedoman perilaku anggota profesi itu. Dengan memasuki organisasi profesi akan terlindung dari perlakuan masyarakat yang tidak mengindahkan martabat kemanusiaan dan berupaya memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan standar etis yang telah disepakati.

5.    Meningkatkan dan Mengembangkan Kesejahteraan
Merupakan upaya organisasi profesi kependidikan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin anggotanya. Dalam poin ini tercakup juga upaya untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan anggotanya. Tidak disangsikan lagi bahwa tuntutan kesejahteraan ini merupakan prioritas utama. Karena selain masalah ini ada kaitannya dengan kelangsungan hidup, juga merupakan dasar bagi tercapainya peningkatan dan pengembangan aspek lainnya. Dalam teori kebutuhan maslow, kesejahteraan ini mungkin menempati urutan pertama berupa kebutuhan fisiologis yang harus segera dipenuhi.

2.3.2    Jenis-jenis Organisasi Keguruan

Di samping PGRI sebagai satu-satunya organisai guru-guru sekolah yang diakui pemerintah sampai saat ini, ada organisasi guru yang disebut Musyawarah Guru Muda Pelajaran (MGMP) sejenis yang didirikan atas anjuran pejabat-pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan professional dari guru dalam kelompoknya masing-masing. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok ini diatur dengan jadwal yang cukup baik. Sayangnya, belum ada keterkaiatan sdan hubungan formal antara kelompok guru-guru dalam MGMP ini dengan PGRI.
Selain PGRI, ada lagi organisasi professional resmi di bidang pendidikan yang harus kita ketahui yakni Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), yang saat ini telah mempunyai divisi-divisi antara lain: Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), Himpunan Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN), Himpunan Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia (HSPBI), dan lain-lain. Hubungan formal antara organisasi-organisasi ini dengan PGRI masih belum tampak secara nyata, sehingga belum didapatkan kerja sama yang saling menunjang dan menguntungkan dalam peningkatan mutu anggotanya. Sebagian anggota PGRI yang sarjana mungkin juga anggota salah satu divisi dari ISPI, tetapi tidak banyak anggota ISPI staf pengajar LPTK yang juga menjadi anggota PGRI.





BAB III

TANGGAPAN DAN SIMPULAN


           3.1 Tanggapan
Guru merupakan sebuah profesi, guru merupakan ibu dari lahirnya berbagai profesi seperti dokter, tentara, notaris dan lain-lain. Bagaimana tidak?, ibarat rumah guru menjadi pondasi utama berdirinya sebuah rumah disamping bimbingan dari orang tua, guru memberikan penguatan, motivasi, dan wawasan luas tentang pengetahuan. Sehingga  guru harus mempunyai wawasan intelektual, mementingkan layanan diatas keuntungan pribadi, dan juga harus mempunyai akhlak yang terpuji yang dapat dijadikan sebagai panutan murid-muridnya. Disamping itu guru juga harus bersikap professional dalam bekerja sesuai profesinya, untuk melayani masyarakat dalam dunia pendidikan dalam rangka memajukan masyarakat itu sendiri, bangsa dan Negara.
            Dalam sebuah profesi kependidikan, guru harus bertindak mengajak siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Ini karena profesi seorang guru ditekankan untuk lebih profesional. Sehingga kemampuan mengajar guru tidak lagi diragukan dan ini akan membentuk peserta didik yang berkualitas.
Kita sebagai calon pendidik atau guru, yang mana dapat diartikan bahwa guru adalah pendidikan profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan formal, pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Guru juga merupakan  sebuah profesi, sebagaimana profesi lainnya merujuk pada pekerjaan atau jabatan yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan. Suatu profesi tidak bisa di lakukan oleh sembarang orang yang tidak dilatih atau dipersiapkan untuk itu. Suatu profesi umumnya berkembang dari pekerjaan (vocational), yang kemudian berkembang makin matang serta ditunjang oleh tiga hal: keahlian, komitmen, dan keterampilan, yang membentuk sebuah segitiga sama sisi yang di tengahnya terletak profesionalisme. Menyadari akan profesi merupakan wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam keberhasilan pendidikan maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar akan peran dan fungsinya sebagai pendidik.


3.2.         Simpulan
Berdasarkan kajian teoritik yang tetah dipaparkan pada bab pembahasan, baik tanggapan individu maupun kelompok maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua pekerjaan bisa dikatakan profesi, karena profesi memiliki 10 kriteria yang harus dipenuhi menurut Sanusi et al. (1991). Untuk profesi kependidikan pada mula perkembangannya masih belum dapat dikatakan sebagai profesi, hal tersebut dipaparkan dalam buku Sejarah Pendidikan Indonesia, Nasution (1987). Kemudian keadaan terus berkembang, guru mulai meningkatkan kualifikasi dan mutunya hingga mempunyai lempaga pendidikan yakni LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan), dan di Indonesia telah ada Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) untuk mewadai persatuan guru. Selain itu juga ada organisasi lain yaitu MGMP (Musyawarah Guru Muda Pelajaran) dan ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia) sebagai organisasi kependidikan.
Rencana- rencana yang cukup menunjang dalam profesi keguruan seperti kode etik kependidikan yang selalu diperbaharui demi tercuptanya guru profesional





 

DAFTAR PUSTAKA


Udin Syafruddin Saud. 2009. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta
Soetjipto dan Raflis Kosasih. 2004. Profesi Keguruan. Jakarta: Rineka Cipta.

Meta. 2013. Profesi Kependidikan. http://likayunia.wordpress.com/2013/04/21/profesi-kependidikan/. Diakses pada hari Jumat 28 Januari 2014, pukul 13.00 WIB.

Gahari, Rizkia. 2012. Syarat dan Karakteristik Profesi. http://rizkia-gahari.blogspot.com/2012/01/syarat-dan-karakteristik-profesi.html. Diakses pada hari jumat tanggal 28 januari 2014 pukul 13.05 WIB.

Musya, Yumi. 2011. Karakteristik dan Syarat- Syarat Profesi. http://yunimusya.wordpress.com/2011/01/12/karakteristik-dan-syarat-profesi/. Diakses pada hari jumat tanggal 28 januari 2014 pukul 13.07 WIB.

Jawa, Mujiman. 2012. Makalah Profesi Keguruan dan Kode Etik. http://mujimanjawa.blogspot.com/2012/04/makalah-profesi-keguruan-dan-kode-etik.html?m=1. Diakses pada hari jumat tanggal 28 januari 2014 pukul 13.09 WIB.










Komentar

Postingan populer dari blog ini

Example of Report Text Paper

CHAPTER 1 INTRODUCTION A.     Background             Report text is one of the kinds of text in reading english skill subject. In this paper, will be explained the contents of report text as detail as possible. Hopefully, the readers are easier to understand the materials. B.      Written Purpose 1.       To know the definition of report text 2.       To know the structure, fuction, and feature of report text 3.       To increase the readers’ knowledge about report text CHAPTER 2 CONTENT A.     Definition of Report Text             Report text is a kind of text which   has social function to describe the way things are, with the reference   to a range of natural, man made and social phenomena in our environment.             Report is a text which presents information about something, as it is. It is as a result of systematic observation and analysis.             From the above definition, we can underline the points that : 1.       Repo

Strategi Pembelajaran inkuiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1     Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan Indonesia dewasa ini adalah masalah lemahnya proses pembelajaran yang ada di lembaga pendidikan yang notabennya adalah sekolah pemerintah dan swasta. Dalam proses pembelajaran, si belajar atau peserta didik kurang didorong dan diberikan kesempatan untuk kemampuan berpikir mereka yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan, namun mereka terkesan “dicekoki” dalam proses belajar tradisional yang disebut dengan mengajar yang memusatkan guru sebagai sumber satu- satunya yang dapat digali pengetahuannya (Teacher center). Proses pembelajaran yang ada didalam kelas maupun di luar kelas diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubugkannya dengan sehari-hari sehingga seakan tidak ada korelasinya denga